Urgen, Nusantara Butuh Lebih Banyak Climate Realist

Banyak dari calon pemimpin generasi penerus Tanah Air yang dimaksud muda serta cerdas, di antaranya Anda, yang mana bersemangat untuk berubah menjadi pahlawan pada berperang melawan inovasi iklim-masalah utama generasi pada waktu ini lalu mendatang.

Semangat yang disebutkan tercetus setelahnya Anda mengawasi berita-berita yang mana menghasilkan cemas, seperti hancurnya sarana wilayah maupun penderita jiwa akibat meningkatnya tingkat kejadian banjir, kenaikan permukaan air laut, dan juga kebakaran hutan-semua oleh didorong oleh inovasi iklim.

Di sisi lain, Anda mengerti bahwa ekonomi Tanah Air ditopang materi bakar fosil: hampir ~70% bauran energi Negara Indonesia didominasi oleh batu bara. Di belakang itu semua, Anda banyak membaca berita mengenai ‘mafia fosil’ Tanah Air dibalik berbagai bidang usaha komponen bakar fosil. Kegelisahan Anda berubah berubah menjadi amarah, kemudian Anda berteriak: “Tutup pembangkit listrik tenaga batu bara sekarang!” atau “Hentikan produksi minyak hari ini!”

Sebentar. Apakah desakan Anda benar? Secara sekilas, menyembunyikan pembangkit listrik juga menghentikan produksi mungkin saja cara satu-satunya untuk menyelesaikan krisis iklim. Namun, apabila dijalankan dengan gegabah, hal ini dapat mengganggu keberlangsungan perekonomian Indonesia-melalui peningkatan tingkat pengangguran, ketidakstabilan ekonomi, lalu keresahan sosial.

Sebagai pribadi aktivis iklim serta praktisi industri, saya mempelajari bahwa penyelesaian kesulitan dekarbonisasi dalam Indonesia tiada semudah menekan ‘red stop button’ ke seluruh aset unsur bakar fosil. Kenyataannya, permasalahan krisis iklim berjauhan lebih banyak kompleks. Aksi untuk berhadapan dengan krisis iklim membutuhkan keseimbangan antara penyelesaian krisis iklim (dekarbonisasi) lalu terjaganya kestabilan juga perkembangan ekonomi.

Diperlukan paradigma “climate realism,” sebagai jalan berada dalam dari ekstremisme di mencapai target dekarbonisasi yang justru dapat menciptakan pencapaian dekarbonisasi lalu Net Zero Emissions Indonesia lebih lanjut bijak kemudian pasti. Tanpa paradigma ini, Indonesia berisiko untuk mengorbankan jadwal sosial serta perekonomian lainnya.

Sekarang, bayangkan diri Anda sebagai Presiden Indonesia, pendatang yang digunakan memiliki kekuasaan eksekutif tertinggi ke negara ini. Kita lihat bagaimana Anda akan mengatasi isu pembaharuan iklim.

Pertama, sebagai Presiden, Anda sudah berjanji untuk menyebabkan Indonesi berubah menjadi negara progresif pada pertengahan abad ini. Pendapatan per kapita negara Anda masih terpencil di dalam bawah negara-negara lain. Terlebih lagi, untuk mengejar ketertinggalan, Anda didesak untuk menyelesaikan isu sosial lainnya seperti kemiskinan, kesenjangan perekonomian dan juga kesetaraan pendidikan. Semua mempunyai biaya yang digunakan signifikan.

Menteri Keuangan melaporkan terhadap Anda bahwa biaya yang digunakan dibutuhkan untuk mencapai Tanah Air untuk bebas emisi karbon (Net Zero Emission) adalah sekitar 1 triliun dolar Amerika Serikat hingga 3 triliun dolar AS. Jumlah ini kira-kira setara dengan Produk Domestik Bruto tahunan negara Anda juga ~15-20 tahun pengeluaran tahunan pemerintah. Anda mulai berpikir bagaimana menyeimbangkan biaya ini dengan permintaan biaya untuk prioritas sosial serta perekonomian lainnya.

Dengan biaya tersebut, Anda mulai pusing memikirkan bagaimana biaya ini akan berdampak terhadap keseimbangan neraca fiskal Anda, khususnya dampaknya terhadap defisit fiskal juga rasio utang terhadap pendapatan negara. Anda juga harus meminta-minta pemodal swasta untuk berkontribusi berpartisipasi terhadap mitigasi krisis iklim, yang digunakan berarti Anda harus merancang strategi untuk menyebabkan penanaman modal yang disebutkan atraktif. Hal ini juga akan membutuhkan biaya.

Menteri Keuangan menganjurkan untuk memotong subsidi bensin agar sumber energi bersih (seperti biofuel) dapat berkompetisi dengan biaya bensin. Mendengar rekomendasi ini, Anda mulai memperhitungkan gejolak urusan politik dan juga kerusuhan rakyat yang akan terjadi, teristimewa akibat berbagai warga bergantung pada subsidi komponen bakar fosil untuk bertahan hidup dan juga menafkahi keluarga mereka.

Selanjutnya Menteri Tenaga dan juga Informan Daya Mineral menyampaikan terhadap Anda salah satu implikasi dari peningkatan bauran energi terbarukan: nilai listrik yang digunakan (mungkin) akan lebih besar tinggi. Jika Anda memutuskan untuk melakukan transisi secara tiba-tiba, tanpa perencanaan yang tersebut baik, biaya yang cukup besar diperlukan untuk menanggung kenaikan tarif listrik kemudian karenanya kenaikan harga dapat terjadi. Lagi-lagi, Anda mimpi buruk mengenai kerusuhan rakyat.

Kementerian Lingkungan Hidup kemudian mengungkapkan konsep “international climate justice,” dengan menyampaikan data “global and historical cumulative emissions”. Ternyata, negara-negara maju yang dimaksud telah terjadi ber-emisi sejak revolusi industri, bertanggung jawab menghadapi ~80% dari seluruh emisi karbon yang dimaksud ada pada atmosfer. Bahkan krisis iklim tak akan selesai jikalau negara maju tak menghurangi emisi mereka, kendati negara mengalami perkembangan seperti Negara Indonesia mencapai Net Zero Emissions.

Di ketika yang dimaksud sama, Anda tahu bahaya inovasi iklim. Apalagi, Tanah Air merupakan salah satu negara dengan indeks climate vulnerability tertinggi. Hati Anda bergejolak memikirkan anak lalu cucu kita yang digunakan akan menghadapi krisis ini di masa depan. Beban dari krisis iklim yang tersebut harus ditanggung oleh generasi Tanah Air sangat menghawatirkan. Anda terus bertekad untuk melakukan dekarbonisasi.

Kembali ke tempat Anda sebagai pembaca. Ternyata, penyelesaian krisis iklim untuk Negara Indonesia tidaklah sesederhana itu. Lantas, apa yang dimaksud harus kita lakukan secara kolektif sebagai bangsa Indonesia? Gagasan seperti apa yang digunakan dapat dorong untuk menjawab urgensi tantangan krisis iklim tanpa mengorbankan penyelenggaraan kegiatan ekonomi dan juga keperluan sosial Indonesia?

Kabar baiknya, terdapat jawabannya yaitu konsep “green growth”-dengan mengawasi dekarbonisasi tidak sebagai beban, tetapi sebagai prospek perkembangan ekonomi. Hal ini berarti memprioritaskan aksi kemudian proyek mitigasi krisis iklim melalui industrialisasi teknologi hijau lokal dapat memunculkan khasiat dunia usaha dan juga sosial yang mana positif untuk Indonesia.

Sebagai contoh, Nusantara dapat merancang sarana manufaktur panel surya kemudian akumulator lokal. Seluruh dunia, satu di antaranya Indonesia, akan membutuhkan lebih tinggi banyak panel surya lalu elemen penyimpan daya untuk memenuhi target dekarbonisasi masing-masing. Ketika Indonesi dapat memproduksi panel kemudian akumulator secara mandiri, tidaklah belaka Nusantara dapat memperoleh pendapatan ekspor, namun Indonesi juga akan menghemat sejumlah biaya impor.

Berinvestasi dalam sektor hijau lokal juga dapat meningkatkan porsi manufaktur terhadap Produk Domestik Bruto Indonesia, yang digunakan telah terjadi mengecil selama 20 tahun terakhir. Lapangan kerja berkualitas tinggi akan tercipta, kemudian economic multiplier effect akan dirasakan Indonesia. Hal ini telah terjadi muncul di RRT selama dekade terakhir; dan juga buktinya adalah resiliensi perekonomian melalui kapasitas lapangan usaha hijau yang mengalami perkembangan pesat.

Prinsip lainnya ialah dengan menyokong solusi iklim yang mana berdasarkan karakteristik bio-regional Indonesia. Tanah Air dikaruniai tiga pilar transisi energi: sumber daya energi baru lalu terbarukan yang mana melimpah (~3.868 GW kapasitas energi terbarukan), critical minerals yang dimaksud dapat dihilirisasi menjadi item ramah lingkungan (mis. turunan nikel, kobalt), juga solusi karbon berbasis alam juga biologis yang dimaksud bervariasi (mis. biofuels, penangkapan alam).

Memanfaatkan tiga pilar ini, dengan fokus industrialisasi lokal, Negara Indonesia dapat menggalakkan pertumbuhan perekonomian yang tersebut kuat yang mana beriringan dengan pencapaian target dekarbonisasi.

Peluang-peluang ini tidak ada dapat hanya sekali dikerjakan oleh segelintir pendatang Tanah Air saja. Kita membutuhkan seluruh anak bangsa, dengan paradigma “climate realist.” Kita perlu anak bangsa yang dimaksud terbaik lalu tercerdas, di Indonesi maupun ke luar negeri.

Lantas, apa yang mana dapat Anda lakukan sekarang?

Pelajari teknologi hijau yang mutakhir dalam luar negeri serta bawa keahlian yang disebutkan kembali ke Indonesia, untuk bangun industrinya. Terlibatlah pada dialog kebijakan rakyat yang dimaksud konstruktif, tidak destruktif, serta berkelanjutan yang dimaksud dapat berubah dialog belaka berubah jadi aksi nyata.

Dan terakhir, sebarkan kesadaran untuk menawan lebih tinggi sejumlah ‘climate realists’. Gunakan platform, seperti media sosial Anda, untuk mengomunikasikan urgensi aksi iklim juga yang mana paling penting, gaungkan cerita mengenai potensi sektor ekonomi mendebarkan dari dekarbonisasi ini.

Masa depan Tanah Air untuk mencapai Net Zero Emissions sekaligus meninggalkan dari “middle income trap” mencapai Indonesia Emas 2045 ada dalam tangan Anda, dan juga kita semua, pemuda-pemudi penerus bangsa Indonesia.

Artikel ini disadur dari Urgen, Indonesia Butuh Lebih Banyak Climate Realist

Menasional.com menyajikan berita virtual dengan gaya penulisan bebas dan millenial. Wujudkan mimpimu, Menasional bersama kami

You might also like
Follow Gnews