Pertarungan Hegemonik Mendorong Suku Bunga Higher for Longer

Rapat Dewan Pemimpin wilayah (RDG) Bank Indonesia (BI) pada Mei 2024 memutuskan untuk mempertahankan BI-Rate pada level 6,25%. Pada RDG sebelumnya, yaitu April 2024, BI meningkatkan suku bunga acuan sebesar 25 bps setelahnya mempertahankan selama lima bulan atau sejak Oktober 2023.

Tentunya komponen yang dimaksud berubah menjadi fokus BI adalah stabilitas makro sektor ekonomi Indonesia di mana perekonomian global ketika ini masih menghadapi VUCA (volatility, uncertainty, complexity and ambiguity) yang tersebut berbeda dengan kondisi-kondisi sebelumnya. Ketidakstabilan geopolitik tentunya dapat mengganggu pasokan komoditas sehingga berubah jadi pendorong utama inflasi.

Saat ini, fokus geopolitik telah terjadi bergeser ke persaingan hegemonik sektor ekonomi dan juga politik, antara Amerika Serikat serta negara-negara NATO dengan Rusia dan juga China, yang saat ini terlihat jelas memicu persaingan di alat tukar mata uang sehingga menciptakan ketidakpastian pada pangsa global dan juga mempengaruhi stabilitas ekonomi secara luas.

Pertarungan Hegemonik
China lalu Rusia tampaknya sudah banyak belajar dari tekanan sektor ekonomi kemudian kebijakan pemerintah yang digunakan dialami selama era Presiden Donald Trump tahun 2016-2020. Pada masa itu, China harus menghadapi kebijakan yang berdasarkan slogan “American First: Make America Great Again” sehingga tentunya mengakibatkan terganggunya perdagangan ekspor juga impor antara Amerika Serikat lalu China.

Sementara Rusia banyak belajar dari tekanan sektor ekonomi serta kebijakan pemerintah dari bervariasi macam embargo serta sanksi internasional akibat kebijakannya pada melakukan aneksasi wilayah Crimea pada tahun 2014.

Pertarungan hegemonik antara Amerika Serikat dan juga sekutunya dengan China lalu Rusia berjalan dengan fase yang digunakan berbeda untuk mencapai keseimbangan yang dimaksud baru. Hal yang dimaksud dapat terlihat ketika Amerika Serikat kemudian sekutunya mencoba menekan hegemonik China dalam Asia.

Namun negara yang dimaksud merespons dengan cara-cara yang dimaksud lebih banyak halus lalu strategis. Salah satu contohnya adalah tempat China sebagai salah satu pemegang utama obligasi Treasury Amerika Serikat, tercatat China melakukan downsizes yang mana cukup siginifikan bermetamorfosis menjadi $775 miliar pada Februari 2024 atau turun $22,7 miliar pada waktu sebelumnya.

Di mana tempat menandakan terus menurunnya kepemilikan utang pemerintah Amerika Serikat oleh China yang dimaksud telah terjadi berada di dalam bawah bilangan bulat $1 triliun sejak April 2022. Kondisi yang dimaksud tentunya memberikan China leverage yang mana signifikan pada dinamika dunia usaha global, khususnya mempengaruhi kekuatan nilai tukar dolar Amerika Serikat secara global.

Selain itu, pertarungan hegemonik juga terlihat dengan membatasi perdagangan internasional, ekspor serta impor menggunakan dolar AS, sebaliknya China terlihat paling ambisius menjadikan mata uang merek sendiri, renminbi, untuk menggeser dolar Amerika Serikat dari takhtanya. Bahkan pada akhir tahun 2023, tercatat 95% perdagangan antara Tiongkok dan juga Rusia tidak ada menggunakan dolar AS, oleh sebab itu menggunakan rubel Rusia serta yuan (renminbi) China.

Higher for Longer
Secara fundamental, penurunan pemanfaatan dolar Amerika Serikat pada proses internasional dan juga pelepasan US-Treasury oleh para pemegang utama tentunya dapat menyebabkan penurunan permintaan terhadap dolar. Konsekuensinya, hal ini berkemungkinan juga di menggerakkan naiknya harga domestik dalam Amerika Serikat.

Di mana ketika penurunan permintaan terhadap dolar akan menimbulkan nilai tukar dolar melemah, yang digunakan pada gilirannya dapat meningkatkan tarif impor kemudian menggerakkan kenaikan harga domestik lebih banyak tinggi. Situasi ini menempatkan Federal Reserve (Fed) pada tempat yang tersebut sulit, lantaran merekan harus mempertimbangkan berubah-ubah komponen sebelum menyebabkan langkah mengenai suku bunga.

Terlebih lagi, apabila ketegangan kebijakan pemerintah atau persaingan hegemonik antara negara-negara besar terus meningkat, langkah penurunan suku bunga akan semakin sulit dipertimbangkan oleh Fed. Ketegangan urusan politik global yang telah terbukti berdampak pada stabilitas perekonomian serta bursa keuangan kemudian menyebabkan ketidakpastian juga volatilitas tentunya menyebabkan Fed kemungkinan besar memilih untuk mempertahankan suku bunga tinggi.

Hal itu sebagai langkah pencegahan terhadap kemungkinan risiko pemuaian lalu mempertahankan stabilitas perekonomian domestik dengan demikian kondisi yang disebutkan menegaskan bahwa ekspektasi bahwa suku bunga dalam Amerika Serikat (Fed Funds Rate (FFR) akan bertahan ke level tinggi di waktu lama (higher for longer).

Sementara itu, Nusantara sebagai negara yang mempunyai ketergantungan dengan keadaan global yang digunakan cukup kuat, terlebih negara yang tersebut miliki current account deficit, maka ketidakstabilan keadaan global turut juga berdampak pada kondisi makroekonomi domestik.

Hal yang dimaksud dapat terlihat status beberapa bulan terakhir, seperti rupiah yang digunakan melemah juga bertahan di melawan Rp.16.200/USD juga tertahannya penurunan naiknya harga akibat meningkatnya biaya komoditas seperti pangan (beras), transportasi, serta lainnya sebelum dan juga setelahnya bulan Ramadhan.

Di sisi lain, Negara Indonesia pada beberapa bulan ke depan masih akan menghadapi tekanan pemuaian akibat kemampuan fiskal yang mana tentunya diperlukan diperhatikan. Sebelumnya, pemerintah telah lama memutuskan untuk tidaklah meninggikan biaya unsur bakar minyak (BBM) maupun listrik pada tahun ini.

Namun, kebijakan itu hanya sekali berlaku sampai Juni 2024. Selain itu, tantangan pemuaian berasal dari salah satu akibat pembaharuan iklim, seperti yang diungkapkan pada kajian World Meteorological Organization (WMO) bahwa diperkirakan tahun 2024 akan lebih tinggi panas dari 2023, yang dimaksud ditetapkan sebagai tahun terpanas sepanjang masa yang digunakan diakibatkan El-Niño.

Akibatnya musim panas atau kemarau di Indonesia pada tahun 2024 akan lebih banyak lama daripada tahun-tahun sebelumnya sehingga kondisi ini tentunya memengaruhi keberhasilan sektor pertanian yang mana pada akhirnya juga status stok serta nilai tukar pangan domestik. Dengan demikian, Bank Indonesia, nampaknya juga wajib hati-hati apabila mau menurunkan suku bunga sehingga diperkirakan juga bahwa BI-rate akan bertahan di level membesar di waktu lama (higher for longer).

Tetap Bertahan Di Tengah Suku Bunga Tinggi
Memang benar bahwa Tanah Air membutuhkan suku bunga rendah untuk memacu laju pertumbuhan perekonomian yang lebih besar cepat. Berdasarkan perhitungan Bappenas, Indonesia memerlukan pertumbuhan dunia usaha sebesar 6%-7% untuk mengundurkan diri dari dari jebakan negara berpendapatan menengah atau middle income trap. Kelancaran harga jual barang pokok juga naiknya harga yang terjaga menjadi kunci utama bagi ketahanan perekonomian di berada dalam periode suku bunga besar yang dimaksud berkepanjangan

Oleh lantaran itu, dalam berada dalam situasi masih tingginya suku bunga, melindungi daya beli masyarakat, khususnya kalangan menengah ke bawah yang mana porsinya masih besar serta sangat mempengaruhi tingkat konsumsi di perekonomian Indonesia, harus berubah jadi prioritas utama.

Masyarakat kelas menengah ke bawah memainkan peran signifikan pada perekonomian melalui konsumsi domestik, yang digunakan menyumbang tambahan dari 50% terhadap Barang Domestik Bruto (PDB) Indonesia.

Dengan demikian, pemerintah diharapkan dapat terus berubah jadi shock absorber (peredam guncangan) berhadapan dengan kenaikan nilai barang pokok sehingga daya beli komunitas dapat terjaga. Tercatat, anggaran proteksi sosial tahun 2024 sebesar Rp496 triliun, dalam mana anggaran untuk Rencana Keluarga Harapan (PKH) kemudian Kartu Sembako mencapai Rp81,2 triliun.

Di sisi lain, pemerintah diharapkan dapat mencari momen yang mana lebih tinggi tepat di meningkatkan Pajak Pertambahan Skor (PPN) lalu tarif tiket. Kenaikan pajak dan juga tarif pada ketika yang dimaksud kurang tepat dapat berisiko menurunkan daya beli komunitas kemudian memperlambat laju peningkatan ekonomi.

Oleh dikarenakan itu, kebijakan fiskal yang digunakan hati-hati dan juga terukur sangat penting untuk meyakinkan bahwa perekonomian Negara Indonesia dapat terus bertambah lalu berprogres di berada dalam tantangan global yang tersebut ada.

Dengan demikian, kebijakan yang dimaksud membantu daya beli, seperti subsidi pangan, acara bantuan sosial, serta stabilisasi nilai keperluan pokok, sangat penting untuk menegaskan bahwa perkembangan perekonomian dapat terus berlanjut meskipun suku bunga masih lebih tinggi dan juga berlangsung yang cukup lama.

Artikel ini disadur dari Pertarungan Hegemonik Mendorong Suku Bunga Higher for Longer

Menasional.com menyajikan berita virtual dengan gaya penulisan bebas dan millenial. Wujudkan mimpimu, Menasional bersama kami

You might also like
Follow Gnews