Konsolidasi Industri Keamanan dan juga Opsi Jet Tempur Indonesia

Industri pertahanan ke negara-negara Barat terus mengalami konsolidasi melalui merger lalu pengambilalihan sejak 1950-an hingga ketika ini. Melalui konsolidasi, jumlah agregat produsen pertahanan makin sedikit kemudian terpusat pada beberapa pabrikan tertentu saja.

Konsolidasi merupakan pilihan tidaklah terhindarkan sebab anggaran pertahanan pada negara-negara yang disebutkan sempat mengalami penurunan selepas Perang Dingin. Sementara di sisi lain, biaya pengembangan juga produksi sistem senjata semakin mahal dari dekade ke dekade, misalnya cost F-35 hampir enam kali lebih banyak mahal daripada cost F-16 yang digantikannya.

Pada domain lapangan usaha pertahanan lalu dirgantara, konsolidasi dalam Amerika Serikat menimbulkan General Dynamics juga McDonnell Douglas hilang dari pasar, Lockheed juga Martin Marietta bergabung berubah menjadi Lockheed Martin, sementara Northrop melakukan merger dengan Grumman sehingga berubah menjadi Northrop Grumman.

Sedangkan di dalam Eropa, Messerschmitt-Bölkow-Blohm, Aerospatiale kemudian CASA telah dilakukan diserap oleh EADS sebelum EADS berganti identitas berubah menjadi Airbus. Namun konsolidasi tiada terus-menerus berhasil seperti kegagalan merger antara BAE dan juga EADS pada 2012 akibat veto Kanselir Jerman Angela Merkel. Penting pula untuk dicatat bahwa tidak ada semua bidang pertahanan juga dirgantara Eropa melakukan konsolidasi, misalnya Dassault Aviation.

Merger kemudian perolehan pada lapangan usaha pertahanan lalu dirgantara pada Barat tidaklah dapat dilepaskan dari aspek ekonomi, yaitu bagaimana menciptakan pangsa yang tersebut kompetitif sehingga dapat menawarkan solusi teknis terbaik dengan biaya juga tarif terbaik untuk konsumen. Adapun dari aspek politik, konsolidasi dimaksudkan agar dari keberadaan lapangan usaha pertahanan nasional atau multinasional tetap terjaga sebagai bagian dari sovereign capability.

Di Amerika Serikat, konsolidasi berlangsung antar firma-firma pertahanan domestik, sementara di Eropa konsolidasi yang mana tercipta lebih banyak berbagai bersifat multinasional, sebab karakter Eropa yang menekankan nilai bersatu Eropa daripada nilai nasional. Namun tidak berarti negara-negara Eropa bukan mengadopsi nilai nasional, oleh sebab itu BAE Systems, Dassault Aviation serta Saab adalah cermin kebijakan pemerintah dari sovereign capability Inggris, Prancis serta Swedia.

Konsolidasi pada lapangan usaha pertahanan juga dirgantara, khususnya pembuat jet tempur, terjadi pada waktu teknologi pesawat tempur mengalami peralihan dari generasi keempat menuju generasi kelima. Di antara kedua generasi teknologi tersebut, terdapat transisi teknologi yaitu generasi 4.5 dengan karakter seperti beberapa penempur generasi keempat mengadopsi radar AESA, kemampuan high manoeuverability, semi stealth lalu sensor fusion.

Saat ini baru terdapat dua pesawat tempur generasi kelima yang digunakan operasional, yaitu F-22 buatan Lockheed Martin yang tersebut dikembangkan pada awal 1990-an lalu F-35 yang mana dikembangkan pada awal 2000-an. Di antara karakter jet tempur generasi kelima adalah menggunakan radar AESA, kemampuan super cruise, stealth penuh, sensor fusion penuh juga penyimpanan senjata di pada fuselage pesawat.

Sebagai hasil konsolidasi, Amerika Serikat ketika ini belaka memiliki tiga pembuat pesawat tempur, yaitu Boeing, Lockheed Martin kemudian Northrop Grumman. Adapun Eropa mempunyai empat produsen jet tempur, yakni Dassault Aviation, BAE Systems, Saab lalu Leonardo plus perkumpulan Eurofighter.

Dari empat pabrikan plus satu konsorsium, semata-mata Dassault Aviation, Saab serta Eurofighter yang mana masih memproduksi lalu memasarkan penempur generasi 4.5. Adapun BAE Systems tidaklah memiliki komoditas baru pasca Hawk 100/200, sedangkan Leonardo berfokus pada pemasaran pesawat Lead-In Fighter Training (LIFT).

Kini produsen pesawat tempur dalam Amerika Serikat maupun Eropa mencurahkan sumberdaya pada desain serta pengembangan jet tempur generasi keenam, seperti acara Next Generation Air Dominance (NGAD) ke Amerika Serikat lalu kegiatan Future Air Combat System (FCAS) yang tersebut merupakan kerja identik antara Dassault Aviation, Airbus kemudian Indra Sistemas.

BAE Systems bersatu dengan Leonardo lalu Mitsubishi Heavy Industries menjalin kemitraan untuk kegiatan Global Combat Air Inisiatif (GCAP). Salah satu karakter pesawat tempur generasi keenam adalah Manned – Unmanned Teaming (MUM-T), yaitu pesawat tempur berawak akan beroperasi sama-sama dengan pesawat tanpa awak atau disebut Loyal Wingmen.

Sementara kontraktor utama inisiatif NGAD belum jelas, inisiatif desain dan juga pengembangan jet tempur generasi keenam lainnya memiliki kesamaan karakter, yaitu kemitraan multinasional. Hal demikian bukan terhindarkan dikarenakan biaya Engineering, Manufacturing and Design (EMD) yang digunakan sangat mahal, sementara produksi pesawat tempur yang disebutkan diharapkan mencapai skala keekonomian.

Sehingga tidak ada mengejutkan apabila Prancis serta Spanyol berkolaborasi pada kegiatan FCAS, sementara Inggris, Italia juga Jepun bermitra untuk kegiatan GCAP. Kecuali Amerika Serikat, nyaris tiada ada negara yang mempunyai kemampuan fiskal untuk mengembangkan penempur generasi keenam secara mandiri.

Indonesia masih akan terus berubah jadi negara konsumen jet tempur oleh sebab itu bukan miliki sovereign capability juga kemampuan ekonomi untuk mengembangkan pesawat tempur secara mandiri. Walaupun Indonesi terlibat di inisiatif KF-21 bersatu dengan Korea Selatan, namun peran Indonesia di EMD jet tempur generasi 4.5 yang dimaksud sangat terbatas.

Di sisi lain, pasca tahun 2030, Negara Indonesia dipastikan akan memerlukan penempur baru dengan asumsi antara 2025-2029 Kementerian Defense melaksanakan pengambilalihan F-15EX buatan Boeing. Pertanyaannya adalah apakah usai tahun 2030 Nusantara akan mempunyai akses kebijakan pemerintah untuk membeli jet tempur generasi kelima?

Berdasarkan kalkulasi kebijakan pemerintah juga engineering, dari sekarang hingga pasca 2030 opsi Negara Indonesia untuk membeli pesawat tempur cuma berasal dari dua anggota kekal Dewan Security PBB yaitu Amerika Serikat kemudian Prancis.

Inggris tidak ada lagi memproduksi jet tempur, sedangkan pengadaan dari Rusia dan juga Cina sangat kecil kemungkinannya sebab bermacam alasan politik, sedangkan Prancis bukan menciptakan pesawat tempur generasi kelima dan juga berfokus pada produksi jet tempur generasi keenam.

Satu-satunya produsen pesawat tempur generasi kelima kemudian sekaligus dapat dikirim ke luar negeri adalah Amerika Serikat lewat F-35. Meskipun pada waktu ini beberapa negara tumbuh mencoba mengembangkan penempur generasi kelima, namun diperkirakan kegiatan dia paling cepat baru akan matang setelahnya tahun 2040 kalau dapat mengatasi beragam isu engineering serta sistem propulsi.

Dari uraian yang dimaksud terlihat jelas benang merah antara konsolidasi bidang pertahanan kemudian dirgantara, lingkungan ekonomi yang mana tercipta juga keterkaitan dengan hubungan antar negara. Dihadapkan pada situasi demikian, Tanah Air sejak dini harus mengantisipasi lanskap pangsa jet tempur global pasca 2030 agar mempunyai akses terhadap jet tempur generasi kelima.

Bila tidaklah diantisipasi, hingga 2045 Tanah Air hanya saja dapat mengoperasikan pesawat tempur generasi 4.5. Penting untuk diingat bahwa terdapat hubungan yang mana kuat antara teknologi pertahanan kemudian diplomasi, ke mana teknologi bukan kebal terhadap pertimbangan kebijakan pemerintah lalu ekonomi.

Artikel ini disadur dari Konsolidasi Industri Pertahanan dan Opsi Jet Tempur Indonesia

Menasional.com menyajikan berita virtual dengan gaya penulisan bebas dan millenial. Wujudkan mimpimu, Menasional bersama kami

You might also like
Follow Gnews