Kondisi Asimetris Dalam Penguasaan Teknologi Perlindungan

Akuisisi peralatan pertahanan di acara Minimum Essential Force (MEF) 2010-2024 terbagi di tiga tahap, yaitu 2010-2014, 2015-2019 lalu 2020-2024. Mayoritas pembiayaan kegiatan pembelian yang dimaksud menggunakan skema Pinjam Luar Negeri (PLN), sisanya memakai skema Pinjam-meminjam Dalam Negeri (PDN) lalu Rupiah Murni.

Dari era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono hingga masa Presiden Joko Widodo, pemerintah secara total mengalokasikan PLN US$40 miliar guna membiayai inisiatif MEF. Angka yang disebutkan telah bersifat final pasca pada 28 November 2023 Jokowi memveto alokasi PLN sebesar US$34,4 miliar untuk Kementerian Pertahanan.

Belanja mesin peperangan pada MEF periode 2020-2024 merupakan kegiatan yang digunakan paling dinamis. Daftar Rencana Pinjam-memakai Luar Negeri Jangka Menengah (DRPLN-JM) 2020-2024 yang mana dikeluarkan oleh Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas berubah sampai empat kali.

Setiap inovasi berarti ada inovasi daftar belanja yang dimaksud diusulkan oleh Kementerian Pertahanan, sehingga besaran alokasi PLN pun turut berubah. Veto presiden terhadap DPRLN-JM 2020-2024 pembaharuan keempat menciptakan rencana pengadaan makin dinamis.

Mengacu pada Undang-undang Nomor 16 Tahun 2012 tentang Industri Pertahanan, kebijakan mengimpor sistem senjata dari luar negeri wajib dihadiri oleh dengan kegiatan Imbal Dagang, Kandungan Lokal kemudian atau Offset (IDKLO). Hal demikian merupakan bagian dari upaya agar sektor pertahanan nasional dapat menguasai beraneka teknologi maju sehingga di masa depan sektor yang dimaksud dapat memproduksi beragam sistem senjata dalam di negeri.

Kewajiban IDKLO juga bagian dari rencana jangka panjang agar Negara Indonesia dapat mandiri di dalam bidang sektor pertahanan. Aturan mengenai IDKLO sebenarnya cuma berbentuk pembakuan hukum tentang kegiatan-kegiatan tersebut, sebab aktivitas itu telah dilaksanakan sejak era Orde Baru.

Apabila memperhatikan bagaimana pemerintah melaksanakan upaya penguasaan teknologi tinggi, di antaranya teknologi pertahanan, terlihat perbedaan yang mencolok ke masa Orde Baru lalu di dalam era MEF.

Pertama, dukungan pendanaan, ke mana ada era Orde Baru semangat pemerintah untuk penguasaan teknologi besar diiringi dengan pembangunan ekonomi dana yang tersebut cukup besar untuk mencapai tujuan yang dimaksud telah lama ditetapkan.

Kucuran dana yang dimaksud tidak sekadar untuk membiayai program-program prioritas, konstruksi beberapa laboratorium di dalam lembaga riset serta pembangunan prasarana produksi pada BUMN Industri Strategis, tetapi mencakup juga penanaman modal sumberdaya manusia.

Di masa itu pemerintah menggagas beberapa jumlah kegiatan beasiswa seperti Overseas Fellowship Inisiatif (OFP), Science and Technology Manpower Development (STMDP) dan juga Science and Technology for Industrial Development (STAID).

Sedangkan di dalam masa MEF, jargon penguasaan teknologi tinggi, khususnya teknologi pertahanan, disertai dengan kucuran dana yang mana terbilang sedikit untuk sektor pertahanan. Pada umumnya kucuran anggaran APBN di bentuk Penyertaan Modal eksekutif (PMP) untuk beberapa BUMN sektor pertahanan.

Terdapat pula pendanaan khusus untuk beberapa kegiatan tertentu, seperti pengembangan bersatu tank medium antara FNSS dan juga PT Pindad. Sedangkan untuk meningkatkan kualitas sumberdaya manusia, nampaknya bergantung pada beasiswa yang dimaksud disediakan oleh LPDP yang dikelola oleh Kementerian Keuangan.

Selain PMN, anggaran untuk penguasaan teknologi pertahanan dibebankan terhadap PLN lewat skema KLO. Tentu belaka hal demikian akan sangat lama untuk mencapai tujuan yang digunakan sudah ditetapkan, sebab teknologi yang dimaksud didapatkan lewat skema KLO bersifat “terpisah-pisah” serta butuh suatu upaya luar biasa untuk “menyatukan” teknologi itu.

Sebagai contoh, teknologi yang dimaksud diraih lewat offset kegiatan Rafale harus “disatukan” lagi dengan teknologi yang relevan dari program-program pembelian lain agar Negara Indonesia sanggup menguasai suatu teknologi secara utuh dalam bidang elektronika pertahanan.

Perbedaan sistem kebijakan pemerintah yang dimaksud dianut oleh Negara Indonesia hari ini dengan pada waktu Orde Baru bukan dapat dijadikan sebagai alasan pembenaran tentang bagaimana kebijakan terkait penguasaan teknologi tinggi dikelola.

Korea Selatan hingga pertengahan 1980-an diperintah oleh rezim militer yang mana otoriter sebelum akhirnya melangkah menuju demokratisasi. Walaupun berlangsung inovasi sistem kebijakan pemerintah dalam Negeri Ginseng, kebijakan penguasaan teknologi membesar permanen berlanjut lalu hasilnya bisa jadi dilihat sekarang pada mana bidang pertahanan Korea Selatan merupakan salah satu pemain global dalam luar lapangan usaha pertahanan Eropa lalu Amerika Serikat.

Penting untuk dicatat bahwa baik Korea Selatan maupun Indonesi mulai mengembangkan secara penting sektor strategis sebagai bagian dari industrialisasi di kurun waktu yang tersebut relatif sebanding yaitu di akhir 1960-an kemudian awal 1970-an.

Kedua, iklim urusan politik nasional, di mana kebijakan penguasaan teknologi lebih tinggi pada masa kini sangat dipengaruhi oleh kepentingan kebijakan pemerintah jangka pendek. Dengan keadaan iklim kebijakan pemerintah sekarang, sulit bagi mengembangkan beberapa jumlah acara penguasaan teknologi tinggi, diantaranya teknologi pertahanan.

Kegiatan yang tersebut dimaksud mulai dari fase conceptual design hingga memasuki tahap serial production, ke mana untuk produk-produk pertahanan atau dual use memerlukan waktu antara 10 sampai minimal 15 tahun. Waktu 10 sampai minimal 15 tahun dibutuhkan agar suatu barang yang dikembangkan sudah ada mature sehingga siap untuk diproduksi dan juga bersaing dalam bursa internasional.

Saat ini terdapat kecenderungan kuat bahwa setiap rezim pemerintahan di Tanah Air hanya saja menggalang pembiayaan program-program yang tersebut dapat selesai maksimal 10 tahun atau sesuai dengan berakhirnya dua periode kepresidenan. Sebab setiap acara yang dimaksud harus dapat diklaim sebagai keberhasilan suatu rezim pemerintahan yang berkuasa.

Iklim kebijakan pemerintah demikian sangat bertolak belakang dengan karakter penguasaan teknologi besar di mana bukan ada jalur pintas atau shortcut. Sebagai contoh, pengembangan bersatu tank medium Harimau antara Negara Indonesia juga Turki disepakati pada 2015 juga baru siap memasuki fase serial production pada 2022 setelahnya dilaksanakan beberapa orang penyempurnaan pada purwarupa.

Apabila pengembangan tank belaka memerlukan waktu hampir 10 tahun, setelah itu bagaimana dengan hasil pertahanan yang digunakan tambahan kompleks seperti radar, rudal, kapal selam dan juga lain sebagainya? Apakah pengembangan beragam produk-produk teknologi membesar yang dimaksud dapat diselesaikan di dua periode satu rezim pemerintahan?

Kondisi asimetris antara logika kebijakan pemerintah lalu logika engineering yang digunakan terjadi dalam Indonesi nampaknya sulit untuk dicarikan solusi selama kepentingan urusan politik jangka pendek setiap saat bermetamorfosis menjadi panglima. Sampai sekarang belum terlihat ada kemauan meletakkan kepentingan kebijakan pemerintah jangka pendek di dalam bawah kepentingan nasional jangka panjang untuk penguasaan teknologi tinggi, salah satunya teknologi pertahanan.

Artikel ini disadur dari Kondisi Asimetris Dalam Penguasaan Teknologi Pertahanan

Menasional.com menyajikan berita virtual dengan gaya penulisan bebas dan millenial. Wujudkan mimpimu, Menasional bersama kami

You might also like
Follow Gnews