Seluruhnya dimulai sejak artificial intelligence (AI) diperkenalkan. Memuncak ketika generative Teknologi AI makin pesat dikembangkan. Tak relevannya manusia jadi makin menakutkan. Dan dalam ujung pengembangannya nanti, generative Artificial Intelligence mampu meniru seluruh bentuk kecerdasan manusia.
Ketika pada waktu itu tiba, manusia belaka mengais sisa-sisa pekerjaan, yang tak dikerjakan AI. Maka yang ada tidak lagi ketakutan, tapi realitas yang dimaksud belaka menyisakan sedikit bangku kosong. Bagi manusia yang tersebut mengobservasi di dalam pinggir arena.
Generative Artificial Intelligence adalah bentuk Artificial Intelligence yang dikembangkan agar sepenuhnya miliki kemampuan, “menghasilkan”, segala yang mana dapat dihasilkan manusia. Ini adalah satu di antaranya menghasilkan kembali dan juga menyadari kata-kata.
Lewat kemampuan ini, interaksi manusia dengan perangkat cerdas terjadi tanpa perlu lagi mempelajari bahasa pemrograman komputer. Kecerdasan Buatan pada wujud perangkat cerdas, menanggapi permintaan manusia pada bentuk kata-kata. Interaksinya dijalankan di bahasa sehari-hari, bahkan lewat aneka bahasa dalam dunia. Sedangkan respon yang tersebut diberikan, sesuai bahasa penggunanya.
Kemampuan generative Kecerdasan Buatan lainnya, memunculkan gambar: gambar tak berpindah maupun bergerak, juga di bentuk video. Individu yang tersebut memunculkan gambar lewat lukisan, fotografi maupun videografi hari ini, makin tersaingi AI.
SORA yang dimaksud dirilis Perusahaan AI Terbuka beberapa ketika lalu, mampu menghasilkan kembali narasi berbentuk video. Penggunanya cukup mengetikkan prompt pada perangkat, meminta-minta disusunnya suatu jalan cerita, perangkat cerdas memproses dan juga memberikan hasilnya sebagai video. Cerita tersusun sesuai dengan permintaan pengguna, namun tampilan videonya mengagumkan. Tentu ini pesaing tangguh bagi profesi sinematografi.
Generative Teknologi AI juga mampu menciptakan perilaku mirip manusia. Hal ini pada bentuk deepfake. Di sedang hiruk pikuk kampanye pemilihan presiden Nusantara awal tahun ini, beredar konten Presiden Jokowi yang digunakan sedang berpidato di dalam hadapan sebuah forum di luar negeri.
Menariknya, pidato diucapkan di bahasa China. Bahasa yang dimaksud mungkin saja tak dikuasai Presiden Jokowi. Pengucapannya lantang, lancar dan juga tegas meyakinkan. Namun pasca ditelusuri, dipastikan konten itu adalah hasil formulasi AI, deepfake.
Deepfake yang merupakan imitasi oleh Kecerdasan Buatan terhadap suara, intonasi, mimik wajah hingga gerak tubuh dari khalayak tertentu, sepenuhnya dapat dimanfaatkan secara berguna. Ini adalah memenuhi permintaan pendidikan, hiburan, penyiaran, kampanye sosial maupun aktivitas komunikasi pemasaran. Tentu belaka deepfake juga dapat dimanfaatkan secara salah, untuk tujuan ilegal: menipu, memanipulasi dukungan politik, hingga memalsukan realitas.
Penerapan deepfake di bidang pendidikan, mampu menghadirkan pengajar-pengajar yang digunakan diformulasi dari pengajar manusia nyata. Proses berlangsung setelahnya seluruh aspek perilaku pengajar manusia, dapat diterjemahkan bermetamorfosis menjadi data. Hasil formulasinya berbentuk diperkenalkan pengajar berbentuk artificial, membawakan tema pembelajaran tertentu.
Sedangkan ke planet pemasaran, dikenal adanya Artificial Intelligence influencer, pemengaruh yang dikembangkan berdasar AI. Influencer ini hadir memasarkan produk-produk fesyen, kosmetik, perangkat rumah tangga, otomotif, perangkat telekomunikasi, hingga Artificial Intelligence influencer yang dimaksud dikembangkan untuk tujuan pemasaran sosial.
Sebagaimana pengajar ke dunia pendidikan, influencer komunikasi pemasaran dapat dihasilkan sebagai personal tiruan, dengan acuan di globus nyata. Namun mampu juga dikembangkan berdasarkan rekaan, tanpa ada acuannya.
Proses penggantian manusia oleh generative Kecerdasan Buatan yang tersebut makin luas, teristimewa didorong argumentasi nilai perekonomian yang mana dapat diraih. Hal ini menyebabkan makin banyak entitas perekonomian yang mana mengadaptasi sistem kerja berbasis AI.
Lewat pemanfaatan pengajar deepfake, juga bumi komunikasi pemasaran yang mana menggunakan Artificial Intelligence influencer, dapat diraih penghematan. Artinya produktivitas meningkat. Jumlah kinerja untuk setiap unit biaya yang dimaksud dikeluarkan, mengalami penggandaan. Keadaan ini pada gilirannya menghasilkan kembali pertumbuhan. Alokasi biaya untuk pekerjaan oleh manusia, dialihkan ke perangkat cerdas yang mana menciptakan output lebih besar tinggi.
Dalam akuntansi pembiayaannya, memang sebenarnya di awal instalasi perangkat cerdas, dibutuhkan pembangunan ekonomi yang besar. Hanya entitas-entitas perekonomian kaya semata yang pada kesempatan awal, mampu melakukan penggantian. Namun pasca operasionalisasi berjalan, terbentuk pengembalian bagi entitas ekonomi. Tentu dengan pengembalian yang digunakan tambahan besar.
Selain biaya yang dikeluarkan akhirnya jadi ringan, entitas dunia usaha juga terbebas dari permasalahan pengelolaan SDM. Entitas-entitas ekonomi tak lagi dibebani biaya-biaya bonus, asuransi kebugaran lalu kecelakaan, tabungan jaminan hari tua, pengembangan berkala, demoralisasi kerja. Seluruhnya terminimalkan, akibat digantikan oleh perangkat cerdas yang tersebut tak punya tuntutan manusiawi. Seluruhnya sesuai dengan prinsip investasi.
Jika biosfer pemanfaatan perangkat cerdas makin luas, yang mana artinya makin banyak entitas sektor ekonomi yang digunakan menikmati pengembalian investasi, dalam sanalah terdapat celah peningkatan dunia usaha makro. Karenanya dapat disaksikan hari ini, makin berbagai entitas sektor ekonomi yang dimaksud tertarik, bahkan menawan bidang perbankan, membiayai dana awal instalasi sistem kerja berbasis AI.
Ini di antaranya bagi entitas perekonomian berukuran menengah lalu kecil. Namun sayangnya, yang digunakan juga jadi pemandangan lazim yang digunakan mengiringi: munculnya gelombang PHK oleh entitas-entitas ekonomi. Ini adalah bukanlah lantaran terjadinya kesulitan ekonomi, tapi PHK yang dijalankan demi penghematan serta pertumbuhan. Orang mengalami degradasi nilai ekonomi, disisihkan perangkat cerdas.
Fenomena relasi pemanfaatan Teknologi AI yang mendongkarak peningkatan ekonomi makro, relevan dengan analisa Erik Brynjolfsson serta Gabriel Unger, 2023. Seluruh uraiannya termuat di artikel berjudul ‘The Macroeconomics of Artificial Intelligence’.
Tulisan yang digunakan dimuat sebagai publikasi International Monetary Fund ini, ke antaranya mengemukakan: semata-mata entitas ekonomi terbesar, yang secara intensif menggunakan Teknologi AI pada langkah-langkah kerja intinya.
AI memungkinkan entitas-entitas dunia usaha ini berubah jadi tambahan produktif, menguntungkan, kemudian tambahan besar jika dibandingkan dengan pesaingnya. Namun biaya awal yang mana sangat besar, yang belaka mampu ditanggung entitas dunia usaha terbesar, menyebabkan tak terjangkau oleh entitas dunia usaha yang digunakan kecil.
Gambarannya pada waktu ChatGPT-4 mulai digunakan secara luas. Hal ini mengharuskan entitas dunia usaha pengadopsinya, memulai pembangunan sistem kerja berbasis generative AI. Harus disediakan biaya pelatihan tambahan dari US $100 jt selama pengembangan awal, serta membutuhkan sekitar US $700.000 per hari, untuk operasional.
Namun di pemanfaatan generative Artificial Intelligence jenis lain ~dari penelitian yang tersebut direalisasikan terhadap 5.000 pekerja di dalam sebuah call center yang digunakan diasistensi AI~ pekerja yang digunakan paling tak terampil maupun pekerja terbaru, menunjukkan peningkatan produktivitas yang mana besar.
Temuan yang tersebut diambil berdasar penelitian Brynjolfsson, Li, serta Raymond pada tahun 2023 itu, jadi petunjuk: keuntungan jangka panjang entitas ekonomi dapat diraih ketika menerapkan sistem kerja berbasis AI
Sebut cuma tumbuhnya kegiatan ekonomi makro akibat pemanfaatan sistem kerja berbasis AI, yang digunakan ekosistemnya makin luas dalam seluruh dunia, merupakan skenario pertama. Namun sebagai alternatifnya, skenario kedua juga mampu terjadi.
Ketika habitat kerja berbasis Kecerdasan Buatan makin luas. Entitas-entitas sektor ekonomi menikmati penghematan lalu pertumbuhan, sesuai perhitungan. Maka bumi mengalami keseimbangan baru. Hal ini akibat perkembangan ekonomi makro yang digunakan signifikan.
Seluruhnya berlangsung akibat sistematisnya penanganan manusia, yang digunakan posisinya digantikan perangkat cerdas. Sebelum pemutusan hubungan kerja, diberikan pelatihan pengembangan kemampuan menjalankan usaha secara mandiri. Juga pesangon di hitungan yang tersebut layak.
Pelatihan juga pesangon digunakan penyandang PHK, masuk ke bidang-bidang kerja yang digunakan tak terlayani AI. Hasilnya dapat menggantikan sumber pendapatan dari pekerjaan sebelumnya. Skenario pertama ini, berhasil menyelenggarakan perpindahan dari manusia ke perangkat cerdas hampir tanpa gejolak.
Namun apabila skenario kedua yang tersebut terjadi: manusia yang digunakan memperoleh pelatihan pengembangan diri maupun pesangon yang layak, namun pekerjaan penggantinya tak dapat membawanya pada keberadaan yang dimaksud sepadan seperti sebelumnya. Bukankah kerunyaman yang digunakan akan segera terjadi? Daya beli makin menurun, konsumsi menciut, akibatnya pertumbuhan ekonomi melambat.
Dan pada realitasnya, bukankah justru skenario kedua ini yang lebih tinggi berpeluang terjadi? Pada ketika muncul ledakan produktivitas akibat tergantikannya manusia oleh perangkat cerdas secara luas, manusia yang dimaksud digantikan tak mampu menemukan jenis pekerjaan yang tersebut mampu mengantarnya hidup layak. Lalu, apa yang digunakan akan datang dialami bumi pada mode skenario kedua ini?
Sebagian jawaban terhadap pertanyaan dalam melawan dapat diperoleh berdasar tulisan Philippa Kelly, 2023. Pada tulisan berjudul ‘AI is Coming for Our Jobs! Could Universal Basic Income be The Solution?’ ini, termuat pikiran Karl Widerquist ~Guru Besar Filsafat di dalam Georgetown University Qatar, yang juga ekonom juga ahli teori politik~. Widerquist menyebut, pada saat Teknologi AI merampas pekerjaan, tak juga merta menjadikan manusia pengangguran seumur hidup.
Namun yang digunakan segera terbentuk adalah tersisihnya pekerja kerah putih, sehingga bertarung memperebutkan pekerjaan bergaji rendah, yang mana tidaklah aman. Ini adalah mengakibatkan kesenjangan dunia usaha yang rawan, antara pemilik entitas dunia usaha berpenghasilan lebih tinggi dengan mantan pekerjanya yang penghasilannya jadi rendah. Kerawanan ini dapat memunculkan konflik akibat kesenjangan yang dimaksud makin lebar.
Karenanya, Widerquist mengusulkan pemberian universal basic income (UBI) untuk para pekerja yang digunakan tergantikan AI, sebagai solusi. Pemikir lain bahkan menyebut, UBI diberikan sebagai bonus untuk para pekerja melawan perannya sebagai pengembang serta penyebar pengetahuan, yang tersebut digunakan merancang model Teknologi AI seperti ChatGPT-4. Lewat solusi ini, diharapkan kesenjangan menyempit.
Namun pertanyaan berikutnya: apakah tak jadi paradoks bagi para pemilik entitas ekonomi, manakala mengadopsi Kecerdasan Buatan untuk melipatgandakan peningkatan yang mana dapat diraih. Namun pasca seluruhnya terwujud, justru harus mengeluarkan pendapatannya yang dimaksud tumbuh, bagi khalayak yang tersebut telah tidak ada bekerja di entitas ekonominya?
Artikel ini disadur dari Skenario Dunia Di Tengah Intensifnya Penerapan Artificial Intelligence