Politik uang (money politic) telah bermetamorfosis menjadi keniscayaan di kontestasi demokrasi. Fenomena itu diyakini masih sulit untuk dihilangkan meskipun beragam kampanye lalu sosialisasi terus dikerjakan untuk mengeliminasi praktik curang yang disebutkan dari tahapan memilih pemimpin.
Femonena itu kian dipertegas melalui riset yang dimaksud dilaksanakan oleh agensi public relations (PR), Praxis Indonesia. Berdasarkan survei untuk 1.001 siswa berusia 16-25 tahun yang tersebut tersebar pada 34 provinsi pada periode 1-8 Januari 2024 lalu diinformasikan pada Awal Minggu (22/01/2023) itu menunjukkan adanya sikap permisif terhadap praktik kebijakan pemerintah uang.
Dari total responden, hanya saja ada 10,99 persen sekadar yang mana bersikap tegas dengan cara menolak. Lainnya menerima dengan beberapa orang catatan. Salah satunya sikap pragmatis menerima tapi tidak ada memilih atau dikenal luas dengan slogan “ambil uangnya, jangan pilih orangnya”.
Perilaku semacam ini tentunya sungguh merisihkan. Apalagi fenomena dan juga perilaku itu telah lama mendapat tempat pada kelompok sosial masyarakat yang harusnya bermetamorfosis menjadi mesin pembaharuan negeri ini.
Jika meninjau perjalanan sejarah bangsa, setiap inovasi – mulai dari era prakemerdekaan, kemerdekaan hingga era reformasi, kaum muda terdidik setiap saat muncul juga bermetamorfosis menjadi motor penggerak perubahan. Artinya, saat pragmatisme bersikap pelajar terhadap praktik urusan politik uang sudah ada begitu permisif, tentunya hal ini berubah jadi warning yang digunakan membahayakan.
Tapi sungguh tak elok juga jikalau menyalahkan sepenuhnya sikap pragmatisme pelajar semacam itu. Sebagaimana pepatah yang dimaksud mengatakan bahwa “buah jatuh tak pernah jarak jauh dari pohonnya”.
Maka sikap permisif pelajar terhadap praktik urusan politik uang ini boleh jadi lantaran praktik itu sudah ada membudaya di dalam semua lapisan masyarakat. Maaf, apabila menyampaikan praktik kebijakan pemerintah uang ini sudah ada bermetamorfosis menjadi budaya. Tapi secara fakta praktik kebijakan pemerintah uang sudah ada menjadi fenomena sosial dalam negeri ini.
Sudah menjadi rahasia umum untuk berubah jadi pemimpin urusan politik di negeri ini sungguh berbiaya mahal. Hasil penelitian yang tersebut pernah dipublikasikan Prajna Research Nusantara pada 2023 menunjukkan bilangan bulat yang fantastis.
Riset yang disebutkan memperlihatkan logistik yang dimaksud dibutuhkan untuk berubah menjadi calon anggota DPR RI berada pada rentang biaya Simbol Rupiah 1 miliar hingga Rupiah 2 miliar, sesudah itu calon anggota DPRD Provinsi (Rp 500 jt – Simbol Rupiah 1 miliar) kemudian calon anggota DPRD kabupaten/kota (Rp 250 jt – Simbol Rupiah 300 juta).
Pola komunikasi yang tersebut usang
Lantas mengapa fenomena pratik urusan politik uang ini masih terus menjamur? Jika kembali merujuk pada hasil riset Praxis Nusantara terlihat bahwa model komunikasi yang dimaksud dikerjakan oleh para politisi Indonesia dinilai masih belum berbagai melakukan perubahan.
Model komunikasi Out of Home (OOH) Advertising masih menjadi pendekatan yang digunakan paling masif dilaksanakan selama kampanye kebijakan pemerintah calon anggota legislatif (caleg) maupun calon presiden lalu delegasi presiden (capres-cawapres).
Jika diterjemahkan OOH adalah media iklan luar ruangan dengan memiliki target orang-orang yang berada pada luar rumah. Umumnya, OOH Advertising sejumlah ditemukan ke area keramaian seperti halte, pinggiran jalan raya, bandara, area transit, stadion, bioskop, dan juga area-area rakyat lainnya.
Model komunikasi semacam itu sesungguhnya berubah menjadi pola lama yang dimaksud boleh jadi sudah ada usang. Di pada waktu kemampuan artificial intellegence (AI), big data, digitalisasi serta internet, telah menjadi bagian penting di merancang pola interaksi komunikasi maka memasarkan diri (personal branding) secara masif tanpa paham siapa target spesifik audiens tentunya berubah menjadi satu kekeliruan besar.
Bahkan apabila belajar pada pendekatan Marketing 4.0, pada sana ditekankan betapa pentingnya memadukan interaksi online serta offline dengan menggabungkan style dengan substance.
Ini artinya sebuah brand (personal branding) bukan sanggup sekadar mengedepankan digital branding yang dimaksud bagus belaka tapi bagaimana menciptakan konten yang dimaksud relevan, menarik, juga up–to–date. Dalam konteks komunikasi politik, maka pesan-pesan yang digunakan harusnya disampaikan oleh para politisi – baik caleg maupun capres/cawapres – harusnya telah masuk pada gagasan yang digunakan dapat diimplementasikan secara nyata, bukanlah sekadar janji populis saja.
Merujuk pada pemahaman tersebut, temuan yang didapat dari riset Praxis Indonesia bermetamorfosis menjadi sangat relevan. Dari survei itu ditunjukkan cuma ada 21,08 persen siswa yang mana menyimpulkan bahwa kegiatan kampanye melalui media OOH masih efektif. Selebihnya, peserta didik percaya bahwa preferensi untuk menentukan pilihan mereka itu itu sangat dipengaruhi oleh kegiatan kampanye yang digunakan informatif juga sumber informasi kredibel.
Dalam hal ini, informasi yang tersebut disampaikan melalui debat (69,93 persen) juga seminar/edukasi (44,16 persen) berubah menjadi dua pilihan terbanyak dari mahasiswa. Melalui debat dan juga edukasi, instruksi para politisi itu sesungguhnya sanggup dikomparasi dengan rekam jejak mereka di berkontribusi buat masyarakat.
Sikap pelajar itu juga ditunjukkan dengan pilihan mereka itu yang dimaksud bukan memilih gimmick–gimmick politik. Mereka lebih besar meninjau pernyataan tokoh kebijakan pemerintah (66,43 persen). Pernyataan itu didasarkan juga pada pilihan informasi yang digunakan bersumber dari informasi kredibel seperti media massa online (66,43 persen) dan juga televisi (47,15 persen).
Semua kesadaran para peserta didik yang dimaksud tentunya berubah menjadi angin segar yang baik buat masa depan demokrasi Indonesia. Di sedang sikap permisif terhadap praktik urusan politik uang namun kesadaran pelajar di memilih pemimpin ternyata masih didasarkan pada rasionalitas memilih. Survei Praxis Tanah Air juga memperlihatkan bahwa modal popularitas dengan latar belakang public figure atau selebritis bukanlah pilihan utama, hanya saja 0,15 persen buat para mahasiswa.
Adanya temuan ini tentunya bermetamorfosis menjadi catatan penting bagi para politisi. Memang benar, populasi merek yang tersebut mengenyam lembaga pendidikan membesar dalam Tanah Air masih berkisar 6 persen dari total populasi penduduk Tanah Air sejumlah 278 jt jiwa.
Namun wajib diketahui juga pada satu dekade terakhir, populasi anak negeri yang tersebut menempuh lembaga pendidikan tinggi terus bertambah dari 255,59 jt pada tahun 2015 meningkat berubah jadi 278,7 jt pada tahun 2023. Artinya, di mana kaum muda terdidik semakin rasional di memilih pemimpin maka harapan untuk mengawasi Tanah Air berubah menjadi lebih besar baik semoga mampu diraih.
Sebagaimana kata Bung Karno “beri aku 10 pemuda, niscaya akan kuguncangkan dunia”. Ya, pemuda-pemuda Tanah Air yang tersebut kelak berubah menjadi agen pembaharuan negeri ini adalah kaum muda terdidik kemudian rasional. Mereka bukanlah pemuda yang digunakan belaka dapat jual gimmick politik, apalagi nebeng mengandalkan pamor orangtua untuk mencoba merebut kekuasaan.
Artikel ini disadur dari Politik Uang dan Pragmatisme Mahasiswa Indonesia di Pemilu 2024