Terbitnya Peraturan Menteri Manufaktur Nomor 6 Tahun 2024 tentang Tata Cara Penerbitan Pertimbangan Teknis Impor Layanan Elektronik (Permenperin 6/2024) mendapat sorotan masyarakat. Hal ini dikarenakan Permenperin yang dimaksud membatasi impor produk-produk elektronik.
Menurut penjelasan Kementerian Perindustrian, melalui siaran pers (8/4/2024), terbitnya Permenperin yang disebutkan sebagai sebagai tindakan lanjut dari arahan Presiden melawan kondisi neraca perdagangan produk-produk elektronik pada tahun 2023 yang dimaksud masih menunjukkan defisit. Padahal, keperluan akan produk-produk elektronik sesungguhnya dapat diproduksi ke pada negeri akibat para produsen elektronik telah lama berinvestasi merancang pabrik ke Indonesia.
Dengan demikian, dalam mata pemerintah, terbitnya regulasi tata niaga impor barang elektronik yang dimaksud merupakan upaya menciptakan kepastian berinvestasi bagi pelaku bidang di dalam Indonesia, khususnya pada rangka memproduksi item elektronik dalam di negeri.
Sebagai ilustrasi, berdasarkan data Sistem Berita Industri Nasional (SIINas) pada tahun 2023, kapasitas produksi untuk hasil AC sebesar 2,7 jt unit juga realisasi produksi sekitar 1,2 jt unit. Artinya utilisasi produksinya hanya saja 43 persen. Sementara impor komoditas AC pada tahun 2023 menembus bilangan 3,8 jt unit.
Persoalan dalam sektor elektronik, sesungguhnya menggambarkan bahwa upaya pemerintah di menggerakkan penanaman modal pada tanah air, juga harus dibarengi dengan upaya memberi proteksi terhadap lapangan usaha nasional (PMA maupun PMDN), sehingga dapat meningkat dan juga kuat.
Terlebih lagi, apabila akibat dari upaya mendebarkan penanaman modal menciptakan unit-unit lapangan usaha yang tersebut beroperasi pada subsektor-subsektor tertentu melebihi total yang dimaksud seharusnya. Hal ini tentunya mengakibatkan terjadinya kapasitas berlebih (excess capacity) yang mana luar biasa, lalu apabila dibiarkan berlarut-larut dapat memunculkan ketidakefisienan yang parah. Terlebih lagi, apabila serbuan produk-produk impor ke pangsa domestik tidaklah terkendali.
Dalam keadaan seperti itu, walaupun rangka bidang dapat dikatakan sebagai lingkungan ekonomi persaingan, tapi bukanlah hal yang digunakan ideal, mengingat kompetisi yang dimaksud berlangsung adalah sangat berlebihan (excessive competition), yang pada akhirnya menghasilkan banyak unit-unit lapangan usaha yang dimaksud jatuh bangun sehingga secara keseluruhan lapangan usaha atau subsektor lapangan usaha yang dimaksud bermetamorfosis menjadi semakin merosot (declining industry).
Dengan demikian, terbitnya Permenperin 6/2024 dapat dimaknai sebagai upaya pemerintah untuk mengurangi declining industry, atau bahkan untuk menjadikan lapangan usaha elektronik sebagai lapangan usaha unggulan nasional yang tersebut mempunyai daya saing di dalam lingkungan ekonomi global (export oriented).
Langkah seperti itu, sesungguhnya banyak diwujudkan negara-negara industri, misalnya semata sebagaimana yang tersebut pernah ditempuh Korea Selatan (Korsel). Negara Ginseng yang disebutkan pada awal mendirikan industrinya melakukan kebijakan proteksi terhadap jenis-jenis sektor tertentu.
Restriksi impor terhadap komoditas yang tersebut sudah ada dapat diproduksi dalam di negeri terus dilaksanakan sampai komoditas pada negeri dinilai bisa jadi bersaing dengan item impor. Bahkan, sarana tarif untuk impor materi baku dan juga subsidi pada bermacam bentuk diberikan untuk bidang ini.
Tak semata-mata itu, Korsel juga mengambil kebijakan pembatasan di perijinan lalu ekspansi kapasitas pada subsektor-subsektor lapangan usaha tertentu yang dimaksud pemainnya terlalu banyak. Tujuan kebijakan ini adalah agar tingkat produksi optimal dapat dicapai.
Kebijakan ini juga bertujuan menjaga dari kompetisi yang digunakan berlebihan yang dimaksud memunculkan kemubaziran sosial. Dalam kaitan ini, pemerintah Korsel juga melakukan intervensi di bentuk pengaturan bisnis (merger), peleburan kapasitas (capacity scaping), serta pembagian pangsa lingkungan ekonomi (market–sharingarrangements). Dalam pembagian pangsa pasar, segmentasi lingkungan ekonomi diatur sedemikian rupa sehingga tidak ada tumpang tindih.
Kebijakan ini, khususnya market–sharingarrangements, apabila dijalankan di dalam Nusantara dapat diindikasikan melanggar Undang-undang (UU) No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli lalu Persaingan Usaha Tidak Optimal atau yang mana tambahan populer dengan sebutan UU Antimonopoli.
Itu betul, apabila market–sharingarrangements dikerjakan oleh para pelaku usaha atau asosiasi usaha, oleh sebab itu berarti merek melakukan kartel. Namun apabila market–sharingarrangements yang disebutkan dibuat oleh pemerintah sebagai tindaklanjut melaksanakan peraturan perundang-undangan yang mana berlaku, maka hal yang dimaksud diperbolehkan.
Di sisi lain, Korsel bukan hanya saja memberi pengamanan terhadap lapangan usaha domestiknya. Korsel juga mengambil kebijakan berani sebagai pencabutan proteksi serta hak-hak istimewa menghadapi perusahaan atau unit-unit bidang yang dianggap penikmat dan juga pemupuk rente.
Strategi Industrialisasi
Permenperin 6/2024, walaupun pada mulanya diarahkan agar pelaku bidang nasional untuk menguasai lingkungan ekonomi domestik (strategi subsitusi impor), tapi pada jangka panjang diharapkan dapat menguasai bursa global (strategi penawaran ekspor). Karena itu, peraturan-peraturan terkait industri, harus diletakkan di kerangka strategi industrialisasi. Pilihan strategi industrialisasi inilah yang dimaksud pada jangka panjang, akan sangat menentukan kekuatan daya saing sektor nasional pada pentas global.
Strategi industrialisasi kian penting, mengingat susunan perekonomian Negara Indonesia didominasi oleh sektor lapangan usaha pengolahan (manufaktur). Di mana pada 2023 share terhadap Sistem Domestik Bruto (PDB) sebesar 18,67 persen, disertai sektor perdagangan 12,94 persen, sektor pertanian (termasuk kehutanan lalu perikanan) 12,53 persen, sektor pertambangan 10,52 persen, dan juga sektor proses pembuatan 9,92 persen. Peran kelima sektor yang dimaksud di perekonomian Tanah Air mencapai 64,58 persen.
Namun demikian, walau sektor manufaktur memberikan kontribusi terbesar terhadap pembentukan PDB, namun bila dibandingkan dengan belasan tahun berikutnya (2005) kontribusinya mengalami penurunan yang cukup signifikan atau muncul deindustrialisasi. Pada tahun 2005 partisipasi sektor manufaktur terhadap Pendapatan Domestik Bruto mencapai 27,4 persen.
Foto: Lima sektor utama perekonomian Indonesia. (Ist) |
Karena itu, tak ada pilihan lain, pemerintah harus bekerja ekstra keras untuk membenahi bidang nasional. Terlebih lagi, pemerintah telah bertekad bahwa untuk mewujudkan Visi Negara Indonesia Emas 2045 yang digunakan memiliki target Indonesia berubah menjadi negara maju, partisipasi sektor manufaktur terhadap Pendapatan Domestik Bruto harus meningkat berubah menjadi 28 persen.
Untuk itu, pemerintah pada Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2025-2045 telah menetapkan Tahapan lalu Arah Kebijakan Industrialisasi, yang digunakan dibagi menjadi empat tahapan. Tahap pertama (2025-2029), penguatan ekosistem industrialisasi. Pada akhir periode ini, yaitu 2029 ditargetkan kontribusi manufaktur terhadap Produk Domestik Bruto sebesar 21,9 persen.
Tahap kedua (2030-2034), peningkatan kapasitas produksi. Pada akhir periode (2034) ditargetkan sumbangan manufaktur terhadap Ekonomi Nasional sebesar 26,6 persen. Tahap ketiga (2034-2039), penguatan daya saing industri. Pada akhir periode (2039) ditargetkan partisipasi bidang pengolahan terhadap Pendapatan Domestik Bruto sebesar 30 persen. Tahap keempat (2030-2045), mencapai net export positif alias Indonesia berubah jadi negara lapangan usaha bumi (Indonesia manufacturing the world).
Pada akhir periode ini, yaitu 2045 ditargetkan partisipasi manufaktur terhadap Produk Domestik Bruto sebesar 28 persen. Target kontribusi manufaktur pada tahap keempat tambahan rendah berbeda dengan target tahap ketiga, ini lantaran Tanah Air mengalami deindustrialisasi (dalam artian posiitif), akibat pada tahun 2025 Tanah Air bermetamorfosis menjadi negara maju, dimana lazimnya negara-negara progresif kerangka ekonominya didominasi oleh sektor jasa.
Perlu digarisbawahi, strategi industrialisasi yang dimaksud dapat mampu dijalankan lalu mencapai target yang mana diharapkan apabila situasi makroekonomi terkendali. Namun demikian, manajemen makroekonomi tidaklah hanya sekali fokus untuk pendekatan (kebijakan) aggregate demand management.
Kebijakan model ini seringkali berubah jadi pilihan utama, khususnya di mengatasi permasalahan makroekonomi di jangka pendek, yaitu melalui kebijakan fiskal maupun kebijakan moneter. Konsekuensi dari ekspansi aggregate demand akan meningkatkan output nasional, namun umumnya disertai inflasi.
Kebijakan aggregate demand management, juga wajib dikombinasikan dengan aggregate supply management, yaitu pengelolaan makroekonomi melalui pendekatan peningkatan produksi barang dan juga jasa nasional (sisi penawaran) melalui efisiensi produksi kemudian upaya pemanfaatan sumberdaya secara optimal.
Namun perlu dicatat, upaya peningkatan efisiensi (dari sisi produksi), tak akan berdampak pada daya saing lalu memberikan keuntungan untuk masyarakat, apabila tiada ada efisiensi di pangsa akibat perilaku persaingan bidang usaha bukan sehat.
Karena biaya produksi yang mana rendah, bukan otomatis menciptakan harga jual yang wajar dalam level konsumen. Dengan kata lain, keuntungan yang tersebut dinikmati pelaku bidang usaha (surplus produsen) adalah juga oleh sebab itu mengambil surplus konsumen yang mana semestinya dinikmati masyarakat.
Artikel ini disadur dari Permenperin 6/2024 dan Urgensi Strategi Industrialisasi