Guna membantu penyelenggaraan Minimum Essential Force (MEF) 2020-2024, Menteri Keuangan sudah pernah menerbitkan penetapan anggaran sebesar US$25 miliar dari April 2021 sampai April 2023. Angka yang dimaksud mirip dengan alokasi Daftar Rencana Pinjam pakai Luar Negeri Jangka Menengah (DRPLN-JM) 2020-2024 untuk Kementerian Perlindungan yang dimaksud disetujui oleh Presiden Joko Widodo pada sidang kabinet terbatas pada 28 November 2023 di dalam Istana Bogor.
Dalam rapat yang mana sama, presiden juga memveto alokasi Pinjam-memakai Luar Negeri (PLN) sebesar US$34,4 miliar bagi Kementerian Keamanan yang mana sebelumnya sudah pernah disahkan oleh Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas.
PSP senilai US$25 miliar merupakan jumlah keseluruhan yang dimaksud terbesar yang pernah disetujui oleh Menteri Keuangan sejak MEF dimulai pada 2010. Menjadi tantangan bagi Kementerian Perlindungan untuk dapat menerima alokasi PSP yang dimaksud bermetamorfosis menjadi kontrak pengadaan sistem senjata.
Berdasarkan pengalaman pada MEF tahap pertama kemudian kedua, tak semua PSP berhasil dieksekusi menjadi kontrak, apalagi kontrak yang disebutkan memasuki status efektif. Kemampuan mengangkat PSP ialah salah satu factor yang dimaksud dinilai oleh Kementerian Keuangan pada memberikan alokasi PLN pada tahun-tahun mendatang.
MEF 2020-2024 baru akan berakhir pada 31 Desember 2024, namun dengan total PSP yang digunakan disetujui oleh Menteri Keuangan mencapai US$ 25 miliar, sesudah itu bagaimana kemampuan Kementerian Defense pada mengakomodasi PSP yang dimaksud sudah disetujui?
Mengacu pada Blue Book 2020-2024 inovasi keempat, terdapat 137 kegiatan pembelian senjata senilai US$ 34,4 miliar. Akan tetapi saat ini jumlah keseluruhan yang dimaksud sudah berkurang lebih besar dari 30 kegiatan seiring pembaharuan alokasi PLN lalu hal-hal lain yang digunakan terjadi hampir setahun terakhir. Apakah ada faktor-faktor yang dimaksud menghambat daya serap PSP berubah jadi kontrak pada periode terakhir MEF?
Tidak dapat dipungkiri bahwa dengan berbekal PSP senilai US$ 25 miliar, Kementerian Defense berhasil mengeksekusi kontrak pengambilalihan 42 Rafale, dua A400M, dua Scorpene, 25 radar pertahanan udara lalu lain sebagainya. Pengadaan 42 Rafale dan juga 25 radar pertahanan udara tergolong luar biasa, sebab biasanya Indonesia hanya sekali membeli paling berbagai belasan unit pesawat tempur dan juga kurang dari 10 unit radar pertahanan udara.
Lewat PSP tersebut, direalisasikan pula modernisasi sebagian C-130H melalui penggantian center wing box kemudian avionics upgrade agar pesawat angkut yang disebutkan dapat berdinas hingga 20 tahun ke depan. Kementerian Keamanan tak lupa pula membelanjakan sebagian kecil porsi PLN untuk menyokong bidang pertahanan domestik lewat pesanan dua CN235 lalu enam N219 terhadap PT Dirgantara Indonesia.
Pada sisi lain, merupakan fakta yang tersebut tak dapat dibantah bahwa terdapat beberapa PSP yang dimaksud tak dapat diserap oleh Kementerian Perlindungan pada beberapa tahun terakhir. Mengingat bahwa MEF 2020-2024 belum usai, belum dapat diketahui berapa nilai total kegiatan yang bukan dapat diterjemahkan berubah jadi kontrak.
Namun sebagai gambaran, setidaknya terdapat sekitar US$ 2,2 miliar PSP yang dimaksud tidaklah dapat diserap lantaran masa berlakunya sudah pernah habis lalu unsur lain. Lalu komponen apa belaka yang digunakan menghasilkan PSP tiada dapat ditindaklanjuti bermetamorfosis menjadi kontrak dengan calon pemasok sistem senjata?
Pertama, pembatalan program. Terdapat beberapa kegiatan yang tersebut telah lama memiliki PSP akan tetapi tak disertai dengan penandatanganan kontrak dengan calon pemasok lantaran program-program yang disebutkan diusulkan dibatalkan oleh Kementerian Pertahanan.
Usulan pembatalan demikian kemudian disetujui oleh Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas melalui revisi Blue Book. Mengapa beberapa jumlah acara yang dimaksud telah menerima PSP dibatalkan adalah domain Kementerian Pertahanan.
Kedua, pembatalan lalu pengalihan program. Dalam tindakan hukum ini, beberapa kegiatan pembelian yang tersebut telah terjadi mendapatkan PSP diusulkan untuk dibatalkan juga alokasi PSP yang digunakan tersedia diusulkan dialihkan bagi kegiatan lain yang digunakan dipandang lebih lanjut prioritas.
Berbeda dengan pembatalan kegiatan pada butir pertama, pembatalan kemudian pengalihan acara tak memerlukan pembaharuan Blue Book akibat kegiatan baru yang diusulkan menerima PSP sudah tercantum pada DRPLN-JM 2020-2024. Apakah usulan pembatalan lalu pengalihan inisiatif diterima atau tidak, hal demikian merupakan kewenangan Menteri Keuangan untuk memutuskan.
Ketiga, tak ada penandatanganan kontrak hingga masa berlaku PSP berakhir. Terdapat beberapa orang kegiatan pengadaan sistem senjata yang digunakan bukan bisa jadi dieksekusi menjadi kontrak dengan calon pemasok hingga masa berlaku PSP jatuh tempo, seperti pembelian helikopter angkut berat untuk TNI Angkatan Udara.
Penyebabnya harus dilihat perkara per kasus, seperti negosiasi kontrak belum selesai ketika masa berlaku PSP kadaluarsa, data teknis pendukung dari calon pengguna belum tersedia lalu lain sebagainya. Walaupun terdapat opsi mengajukan perpanjangan PSP untuk Menteri Keuangan, namun Kementerian Keuangan bersikap sangat selektif untuk menafsirkan program-program yang tersebut layak diperpanjang.
Keempat, inovasi kontrak. Perubahan kontrak pengadaan yang mana belum selesai dilaksanakan ketika masa berlaku PSP berakhir turut berkontribusi pula pada daya serap PSP. Perubahan kontrak dapat berlangsung apabila pihak yang digunakan sebelumnya mendapatkan kontrak perolehan dari Kementerian Perlindungan tidak ada dapat memenuhi kewajiban, misalnya tak mengantongi Letter of Appointment (LOA) dan juga Power of Attorney (POA) dari Original Equipment Manufacturer (OEM).
Terjadinya inovasi kontrak merupakan sebuah keniscayaan sepanjang masih di masa berlaku PSP, di dalam mana PSP berlaku sampai satu tahun pasca diterbitkan.
Kelima, pembaharuan skema pembiayaan. Model pembiayaan yang dimaksud ditetapkan pada PSP ada dua, yakni Lembaga Penjamin Kredit Ekspor (LPKE) juga Kreditur Swasta Mancanegara (KSA). Dari dua skema pembiayaan tersebut, LPKE lebih lanjut disukai lantaran OEM atau calon pemasok yang akan mengajukan calon lender terhadap Kementerian Keuangan daripada KSA di dalam mana Kementerian Keuangan yang dimaksud harus mencari calon lender.
Tidak jarang muncul usulan pembaharuan skema pembiayaan dari LPKE ke KSA atau sebaliknya untuk Kementerian Keuangan berdasarkan beberapa jumlah alasan, namun rute yang dimaksud berlangsung hampir bersamaan dengan akan habisnya masa berlaku PSP.
Keenam, kesulitan mencari lender. Sejumlah kegiatan yang dimaksud terkait dengan pembelian sistem senjata dari Turki menghadapi isu ini, sebab tiada ada infrastruktur LPKE atau KSA dari lembaga keuangan Turki dengan penawaran suku bunga yang mana kompetitif.
Sementara calon lender dari Barat atau sindikasi lain enggan membiayai pengadaan jika Turki berdasarkan beberapa orang pertimbangan resiko industri mengingat kegiatan ekonomi Turki yang sangat tidak ada bagus. Padahal di dalam sisi lain, PSP mempunyai masa berlaku yang mana bukan dapat ditawar lagi.
Ketujuh, acara kontroversial. Adanya inisiatif kontroversial yang digunakan mendapatkan PSP dapat menciptakan penyerapan PSP bukan terwujud. Hal demikian berjalan pada tindakan hukum rencana pembelian 12 Mirage 2000-5 bekas dari Qatar dengan nilai PSP US$ 734,5 juta. Munculnya kontroversi pada kegiatan yang dimaksud memproduksi Menteri Keuangan tidak ada setuju untuk melanjutkan pengadaan yang akan dilaksanakan lewat firma yang dimaksud berbasis dalam Praha, Ceko.
Artikel ini disadur dari Penyerapan Penetapan Sumber Pembiayaan untuk Belanja Senjata