Jakarta – Hari ini, 10 Juni 1987 silam, adalah hari meninggalnya tokoh pejuang kemerdekaan jika Aceh, Daud Beureueh yang dimaksud lahir pada 1899. Dia adalah seseorang pejuang yang tersebut kemudian memberontak lantaran ketidakpuasan terhadap pemerintahan Sukarno.
Daud Beureueh lahir di dalam Beureu’eh, Daerah Pidie, Aceh dengan nama lengkap Teungku Muhammad Daud Beureueh. Ia tidak ada pernah mendapatkan institusi belajar formal. Ia menimba ilmu pada beberapa pesantren ke Sigli, salah satunya pesantren milik Teungku Muhammad Hamid, ayah dari Farhan Hamid, individu kader Partai Amanat Nasional.
Pada masa-masa usia sekolah, ayahnya bukan mendaftarkannya ke institusi lembaga pendidikan resmi yang didirikan oleh Belanda seperti Volkschool, Government Indlandsche School, atau HIS. Sebagai gantinya, ayahnya lebih banyak memilih lembaga sekolah tradisional yang mana telah ada sejak zaman kerajaan Islam, seperti dayah atau zawiyah.
Dilansir dari luk.staff.ugm.ac.id, meskipun bukan mendapatkan institusi belajar Belanda, kecerdasan kemudian kecepatan berpikirnya membuatnya mampu mengakomodasi segala ilmu yang tersebut diajarkan kepadanya, termasuk bahasa Belanda. Kebiasaan mengonsumsi ikan, yang mana umum dalam kalangan rakyat Aceh, menjadikannya seseorang yang tersebut cepat belajar.
Pada usia 33 tahun, Daud mendirikan Madrasah Sa’adah Abadiah ke Blang Paseh, Sigli. Dia adalah orang ulama yang dihormati dan juga tidaklah ragu memberikan kritik keras untuk dia yang dimaksud menyimpang dari akidah Islam.
Daud Beureueh pernah memegang jabatan sebagai ketua Persatuan Ulama Seluruh Aceh (PUSA) di upaya menghadapi penjajahan Belanda pada Indonesia. Pada masa revolusi, ia juga berperan sebagai Pengelola Militer Aceh. Dari 21 September hingga 9 Mei 1962, ia terus memberontak terhadap pemerintah, salah satunya dengan mendirikan Negara Islam Indonesia (NII) akibat merasa bukan puas dengan kepemimpinan Presiden Soekarno.
Kisah pemberontakan Daud Beureueh dimulai dengan munculnya sebuah dokumen rahasia yang mana isinya tak diketahui secara pasti. Di kalangan tentara Darul Islam Aceh, dokumen ini disebut “les hitam,” sementara sejarawan Belanda Cornelis van Dijk menyebutnya “daftar hitam.” Dokumen ini berubah jadi material perbincangan hangat di Tanah Jeumpa pada awal 1950-an.
Dokumen yang dimaksud konon dikirim oleh Awal Menteri Ali Sastroamidjojo melalui Jaksa Tinggi Sunarjo yang digunakan membawanya ke Medan. Namun, ada juga yang mengutarakan dokumen ini berasal dari kabinet Sukiman. Isinya menggambarkan puncak perseteruan antara pemerintah Ibukota serta Aceh, dengan rencana Ibukota Indonesia untuk membunuh 300 tokoh penting Aceh, atau 190 menurut sumber lain, melalui operasi rahasia pasca meyakinkan area yang disebutkan akan memberontak.
Ali Sastroamidjojo menyangkal keterlibatannya pada penyusunan daftar itu pada rapat paripurna DPR 2 November 1953. Namun, keberadaan dokumen yang disebutkan tidak ada begitu penting. Yang pasti, rumor tentang rencana pembunuhan itu memberi peluang bagi pemberontakan Darul Islam ke Aceh. Aktivis Darul Islam segera bersiap-siap, lalu Daud Beureueh, salah satu yang dimaksud disebut pada dokumen itu, segera mengangkat senjata.
Selama sembilan tahun, Daud Beureueh mengawasi aksi perlawanan pada bawah bendera Darul Islam, membuka putaran pemberontakan Aceh pasca-era kolonial. Namun, “les hitam” bukanlah satu-satunya pemicu pemberontakan ini.
Dokumen itu hanya sekali pemicunya, sedangkan minyak tanahnya adalah kekecewaan Daud Beureueh yang mana merasa dikhianati oleh Sukarno setelahnya membela Republik selama perjuangan kemerdekaan.
Kekecewaan ini dipicu oleh pembubaran Divisi X TNI dalam Aceh pada 23 Januari 1951 dan juga pencabutan status provinsi Aceh. Beberapa pihak mengumumkan kabinet Natsir sebagai pelakunya, sementara yang digunakan lain menganggap itu tindakan kabinet sebelumnya.
Aceh kemudian digabungkan ke di Provinsi Sumatera Utara, dengan Abdul Hakim diangkat sebagai gubernurnya dan juga Medan sebagai pusat pemerintahan. Daud Beureueh, yang digunakan sebelumnya menjabat sebagai Pengelola Jenderal yang dimaksud meliputi Aceh, Langkat, kemudian Tanah Karo, bukan mengetahui tindakan ini.
Dilansir dari esi.kemendikbud.go.id, Kongres Alim Ulama se-Indonesia di Medan pada 11-15 April 1953 memunculkan beberapa keputusan, dalam antaranya memperjuangkan Negara Islam Tanah Air (NII) melalui pilpres yang mana akan datang.
Pada 21 September 1953, Daud Beureueh mendeklarasikan Aceh menjadi bagian dari NII. Deklarasi yang disebutkan menunjukkan Aceh bergabung dengan NII Jawa Barat dalam bawah Sekarmadji Marijan Kartosoewirjo. Ini adalah merupakan kejadian berdarah untuk Aceh.
Pemerintah merespons pemberontakan dengan menurunkan kekuatan militer berdasarkan Keputusan Presiden No. 175 Tahun 1952, mengerahkan empat batalyon tentara kemudian 13 batalyon mobrig ke seluruh Aceh. Namun, kekuatan militer sekadar tak cukup untuk menyelesaikan konflik, sehingga upaya dialog mulai dilakukan. Selama periode ini, terdapat perpecahan dalam kalangan pemberontak yang tersebut dimanfaatkan untuk melanjutkan dialog dengan pemerintah, yang dimaksud dikenal sebagai Misi Hardi.
Kolonel Jasin, yang menggantikan Syamaun Gaharu sebagai Panglima Kodam, mengamati Daud Beureueh sebagai kunci di konflik ini. Pada 7 Maret 1961, Jasin mengirim surat terhadap Daud Beureueh, mengundang untuk berdamai. Balasan Daud Beureueh pada 27 April 1961 berisi sembilan pokok penting.
Pertemuan pertama antara utusan pribadi Daud Beureueh kemudian Kolonel Jasin muncul pada 4 Agustus 1961, dihadiri oleh oleh perjumpaan dengan segera pada 2 November 1961. Daud Beureueh menyampaikan keinginan untuk mengutus Hasballah, anaknya, untuk bertemu dengan Jenderal Nasution pada Jakarta, yang digunakan kemudian terlaksana pada 21 November 1961.
Pada 5 Februari 1962, Kolonel Jasin mengirim surat resmi terhadap Daud Beureueh dengan langkah tentang pelaksanaan Syariat Islam di Aceh, yang digunakan diterima baik oleh Daud Beureueh pada 17 Februari 1962. Akhirnya, pada 9 Mei 1962, Teungku Daud Beureueh bersatu staf kemudian pasukannya kembali ke pangkuan Republik Indonesia, dijemput oleh Letkol Nyak Adam Kamil lalu satu kompi TNI.
Pada masa Orde Baru, Daud Beureueh dilumpuhkan pemerintah. Ia meninggal pada 1987 di usia 91 tahun dengan situasi buta. Dalam pemakamannya tiada ada penghormatan seperti prosesi pemakaman pemukim berjasa di Aceh.
Artikel ini disadur dari Kisah Daud Beureueh, Jejak Pejuang Kemerdekaan Asal Aceh yang Berontak