Ketidakseimbangan Neraca Gas Bumi RI juga Penguraian Infrastruktur LNG

Porsi pemanfaatan gas bumi untuk keinginan domestik disebutkan terus mengalami peningkatan. Berdasarkan data Kementerian ESDM, porsi gas bumi untuk keperluan domestik pada tahun 2023 tercatat sebesar 68,2%, jarak jauh lebih banyak tinggi dibandingkan tahun 2012 yang digunakan ketika itu berada pada kisaran 49,4%.

Meningkatnya porsi pemanfaatan gas bumi untuk keinginan domestik salah satunya berlangsung sebab adanya peningkatan permintaan besar permintaan gas dalam tingkat pengguna akhir. Namun, jikalau dicermati lebih tinggi jauh, salah satu unsur lain yang digunakan juga memengaruhi peningkatan porsi pemanfaatan gas untuk keinginan domestik adalah oleh sebab itu terjadinya penurunan produksi yang mana cukup signifikan di sisi hulu.

Merujuk data SKK Migas (2023), pada kurun kurang lebih besar 10 tahun terakhir, besar permintaan gas bumi domestik tercatat meningkat rata-rata sekitar 0,6% per tahun. Sementara untuk periode yang digunakan sama, lifting gas bumi nasional secara rata-rata tercatat mengalami penurunan sekitar 2,35% per tahun.

Pada tahun 2023 realisasi lifting gas bumi nasional dilaporkan sebesar 960 ribu barel setara minyak per hari (mboepd), lebih besar rendah dibandingkan tahun 2012 yang digunakan tercatat sebesar 1.253 mboepd. Dalam jangka panjang, tren penurunan produksi gas yang berjalan ini memiliki kemungkinan akan menimbulkan Indonesi mengalami defisit gas.

Berdasarkan Neraca Gas Nusantara 2023-2032, apabila semata-mata bergantung pada produksi gas dari lapangan yang ketika ini beroperasi (existing supply), sejak tahun 2026 besar keperluan gas bumi domestik terkontrak (contracted demand) diproyeksi bukan lagi dapat dipenuhi.

Ketidakseimbangan Neraca Gas Domestik
Di tingkat kebijakan makro, tren penurunan produksi juga prospek defisit gas nasional pada dasarnya telah dilakukan diidentifikasi oleh pemerintah dengan mengupayakan adanya tambahan produksi gas bumi dari beberapa proyek yang ditargetkan akan mulai beroperasi pada pada waktu dekat.

Dalam skenario yang disusun Kementerian ESDM, jikalau dapat direalisasikan dengan baik, tambahan produksi gas bumi dari beberapa lapangan gas seperti Gendalo, Gandang dan juga Gehem, Ubadari juga lapangan Abadi Masela diproyeksi tidak ada hanya sekali akan menyebabkan Negara Indonesia pada hal ukuran terhindar dari defisit tetapi juga berpotensi mengalami surplus gas hingga 10 tahun mendatang.

Namun, berbeda halnya dengan kesulitan kecukupan volume, keseimbangan antara pasokan serta pengguna gas bumi tiada selalu berjalan secara merata. Dalam regionalisasi yang dimaksud ditetapkan pada di Neraca Gas Indonesia yaitu region I (Aceh serta Sumatera Bagian Utara), region II (Sumatera Bagian Tengah lalu Selatan, Kepri, kemudian Jawa Bagian Barat), region III & IV (Jawa Bagian Tengah juga Timur), region V (Kalimantan kemudian Bali), serta region VI (Papua, Sulawesi, lalu Maluku), beberapa region tercatat membutuhkan pasokan gas dari wilayah lain.

Untuk region II misalnya, keinginan gas pada tahun 2030 diproyeksi sekitar 2.000 BBTUD, sementara apabila semata-mata mengandalkan pasokan gas existing, besaran pasokan gas yang tersedia hanya sekali berada pada kisaran 1.000 BBTUD. Bahkan apabila dengan tambahan pasokan dari proyek-proyek yang direncanakan beroperasi pada pada waktu dekat, region II diproyeksi kekal akan mengalami defisit gas.

Kondisi mirip juga muncul ke region III juga IV (Jawa Tengah lalu Jawa Timur). Dalam Neraca Gas Indonesia, ukuran keinginan gas bumi untuk wilayah Jawa Tengah juga Jawa Timur, peluang keinginan gas untuk wilayah yang disebutkan diperkirakan mencapai sekitar 1.000 BBTUD pada tahun 2030.

Berdasarkan proyeksi yang dimaksud ada, pemenuhan permintaan gas bumi yang dimaksud tidaklah dapat direalisasikan hanya saja dengan mengandalkan produksi dari lapangan existing atau lapangan yang tersebut akan beroperasi di waktu dekat, tetapi juga memerlukan tambahan pasokan dari lapangan gas di dalam region lain.

Dalam konteks ini, tiga region yaitu Region I (Aceh-Sumut), Region V (Kalimantan – Bali), kemudian Region VI (Sulawesi-Maluku-Papua) berkemungkinan mempunyai surplus pasokan yang dapat dialokasikan untuk regional II, III serta IV. Kemungkinan surplus pasokan gas dari ketiga wilayah yang dimaksud diperkirakan dapat mencapai lebih lanjut dari 3.000 BBTUD.

Untuk dapat memanfaatkan kemungkinan surplus pasokan yang disebutkan ke region lain yang mana mengalami defisit, pendistribusian gas antar wilayah di bentuk LNG (Liquified Natural Gas) berubah menjadi pilihan yang digunakan paling rasional untuk dilakukan.

Infrastruktur LNG juga Pendukung Kebijakannya
Terkait dengan ini, sejauh ini kebijakan yang digunakan pemerintah sudah tetapkan dalam melawan kertas pada dasarnya dapat dikatakan telah lama cukup sesuai dengan proyeksi neraca gas dan juga identifikasi permasalahan yang dimaksud ada.

Untuk kesetaraan infrastruktur misalnya, melalui Rencana Induk Jaringan Transmisi lalu Distribusi Gas Bumi Nasional (RIJTDGBN) 2022-2031 pemerintah secara prinsip telah terjadi menetapkan bahwa perkembangan infrastruktur gas pada wilayah Indonesia bagian Barat (Region I, II, serta III) akan difokuskan pada jaringan gas pipa, sementara di dalam wilayah Indonesi bagian Timur (Region IV hingga Region VI), lebih tinggi diutamakan pembangunan infrastruktur dan juga infrastruktur LNG seperti kilang, pengisian-penyimpanan, kemudian regasifikasi.

Untuk dapat berjalan ke pada implementasinya, namun demikian, kebijakan pengembangan infrastruktur gas, lalu khususnya LNG, sebagaimana yang dimaksud telah terjadi digariskan pada atas, masih sangat memerlukan elaborasi lalu formulasi strategi detil teknis operasionalnya yang tersebut lebih besar konkret.

Investasi untuk pengembangan infrastruktur LNG, sebagaimana pembangunan ekonomi pada pengembangan infrastruktur gas midstream lainnya, sangat dipengaruhi oleh sejauh mana peran serta keterlibatan pemerintah di dalam pada merealisasikannya.

Merujuk pada keberhasilan terselesaikannya proyek gas Cisem Fase I pada 2023 kemudian lalu realisasi perkembangan acara jaringan gas kota (jargas) selama periode 2020 – 2022 yang dimaksud mengalami peningkatan cukup positif, peran dan juga keterlibatan pemerintah melalui penganggaran secara secara langsung dalam APBN, terbukti sudah pernah lebih tinggi efektif dapat menjamin terealisasinya penyediaan infrastruktur sesuai dengan perencanaan strategis juga target yang ditetapkan.

Pengembangan infrastruktur gas melalui mekanisme Kerjasama eksekutif Badan Usaha (KPBU) kemudian penanaman modal lain (swasta) akan sangat bergantung pada objektif, pertimbangan dan juga kalkulasi keekonomian badan bidang usaha yang tersebut belum tentu sejalan dengan objektif serta rencana strategis pengembangan infrastruktur gas nasional.

Ketika berlangsung pembaharuan objektif dari badan usaha, objektif serta rencana strategis pengembangan infrastruktur gas nasional yang digunakan sudah ada mempunyai landasan serta semestinya berubah menjadi pegangan dapat kemudian berubah atau bergeser.

Objektif, pertimbangan dan juga kalkulasi keekonomian pemerintah lalu badan perniagaan ke di pengembangan infrastruktur gas tiada terus-menerus mirip atau dapat berjalan beriringan. Hal ini yang dimaksud menimbulkan skema KPBU dan juga atau skema pembangunan ekonomi melalui mekanisme pangsa biasa ke pada pengembangan infrastruktur gas tiada dapat setiap saat bekerja atau berjalan secara efektif.

Dalam pengembangan infrastruktur gas, lalu lebih tinggi khusus lagi infrastruktur LNG, untuk dapat menciptakan mekanisme KPBU dan juga lingkungan ekonomi bekerja secara efektif, diperlukan peran secara langsung pemerintah untuk menjamin pengembalian penanaman modal yang digunakan sejalan dengan objektif, pertimbangan dan juga kalkulasi badan usaha.

Peran dengan segera pemerintah di hal ini dapat dalam bentuk pemberian kompensasi melawan penugasan tertentu, penjaminan proyek dan juga atau insentif fiskal serta non-fiskal lainnya. Dan itu artinya permanen memerlukan pengalokasian sumber daya atau anggaran dengan segera tertentu dari pemerintah melalui instrumen APBN.

Secara lebih besar khusus, pengembalian pembangunan ekonomi dalam pada bidang usaha infrastruktur LNG, sangat dipengaruhi oleh kejelasan terkait pasokan gas (cadangan, produksi, sumber) ke sisi hulu serta kejelasan akan permintaan gas (volume, jangka waktu, distribusi) di dalam sisi hilirnya.

Tingkat pengembalian pembangunan ekonomi di rantai penyediaan LNG juga relatf lebih besar fluktuatif lantaran dipengaruhi fluktuasi pergerakan harga jual LNG yang bergantung pada nilai gas (minyak), lalu eskalasi atau kenaikan harga terkait biaya pengiriman, regasifikasi, lalu distribusinya.

Di sinilah peran kemudian intervensi pemerintah yang tersebut paling mendasar, di bentuk memberikan sinyal juga kejelasan tentang bagaimana arah kemudian keseimbangan pangsa – pasokan-permintaan gas antar wilayah – yang disebutkan akan diwujudkan juga dioptimalkan, berubah menjadi sangat relevan.

Dengan demikian, dukungan kebijakan baik di bentuk kejelasan, kepastian, konsistensi dan juga sinkronisasi melawan implementasi kebijakan itu sendiri, maupun dukungan kebijakan di bentuk peran dan juga intervensi proporsional pemerintah melalui pengalokasian anggaran tertentu secara secara langsung di dalam di APBN akan berubah jadi penentu bagaimana pengembangan infrastrutur LNG akan dapat berjalan kemudian permasalahan ketidakseimbangan neraca gas bumi domestik ke depan akan diselesaikan.

Artikel ini disadur dari Ketidakseimbangan Neraca Gas Bumi RI dan Pengembangan Infrastruktur LNG

Menasional.com menyajikan berita virtual dengan gaya penulisan bebas dan millenial. Wujudkan mimpimu, Menasional bersama kami

You might also like
Follow Gnews