Dilema Kampus Negeri, antara Subsidi atau Mandiri

Pemberitaan mengenai kenaikan uang kuliah mulai bergeser pada anggapan negara telah terjadi berlepas tangan pada penyelenggaraan institusi belajar tinggi. Munculnya pandangan yang dimaksud dikarenakan alokasi APBN pada kerangka pendapatan perguruan besar semakin mengecil dari tahun ke tahun. Tapi apakah opini yang disebutkan tepat? Untuk mengamati hal yang disebutkan dapat dirunut dari nomor yang digunakan tercantum ke pada APBN.

Setiap tahunnya APBN berisi bervariasi pos belanja pemerintah. Untuk mencermati alokasi belanja yang disediakan, terdapat beberapa klasifikasi atau pengelompokkan menghadapi alokasi tersebut. Pengelompokkan yang mana digunakan terdiri berhadapan dengan klasifikasi berdasarkan organisasi, klasifikasi berdasarkan fungsi, dan juga klasifikasi berdasarkan jenis belanja.

Pengelompokan pertama berdasarkan organisasi. Klasifikasi organisasi adalah pembagian alokasi anggaran berdasarkan kerangka organisasi kementerian/lembaga juga Bendahara Umum Negara (BUN). Dengan menggunakan klasifikasi yang disebutkan akan tampak berapa alokasi belanja yang mana diberikan untuk setiap kementerian juga lembaga pada setiap tahun anggaran.

Pengelompokkan kedua berdasarkan jenis belanja. Pada klasifikasi ini terdapat 8 jenis Belanja eksekutif Pusat (BPP) yaitu Belanja Pegawai (51), Belanja Barang lalu Jasa (52), Belanja Modal (53), Belanja Pembayaran Kewajiban Utang (54), Belanja Subsidi (55), Belanja Hibah (56), Belanja Bantuan Sosial (57), juga Belanja lain-lain (58). Sedangkan untuk belanja Transfer Ke Daerah (TKD) terdapat 6 jenis belanja yaitu Dana Bagi Hasil (61), Dana Alokasi Umum (62), Dana Alokasi Khusus Fisik (63), Dana Otonomi Khusus, Dana Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta, kemudian Dana Insentif Daerah (64), Dana Alokasi Khusus Non Fisik (65), juga Dana Desa (66).

Selanjutnya apabila dikelompokkan berdasarkan fungsi, maka terdapat 11 klasifikasi yang digunakan untuk membaginya. Ke-11 fungsi yang dimaksud adalah Pelayanan Umum (1), Keamanan (2), Ketertiban kemudian Ketenteraman (3), Sektor Bisnis (4), Perlindungan Lingkungan Hidup (5), Perumahan juga Fasilitas Umum (6), Bidang Kesehatan (7), Peluang Usaha Pariwisata (8), Agama (9), Pendidikan (10), kemudian Perlindungan Sosial (11).

Untuk meninjau alokasi anggaran lembaga pendidikan pada APBN, maka klasifikasi fungsi yang digunakan digunakan untuk memotret besaran uang yang dimaksud tersedia pada APBN. Klasifikasi berdasarkan organisasi tak bisa jadi digunakan untuk memotret alokasi anggaran lembaga pendidikan sebab akan tersegmentasi cuma pada BPP juga terbatas pada beberapa jumlah kementerian yang memiliki tusi pendidikan.

Merujuk pada APBN 2024, besaran anggaran lembaga pendidikan berjumlah Rp665 triliun rupiah. Alokasi yang disebutkan terbagi berubah jadi tiga mekanisme penyaluran yaitu melalui BPP sebesar Rp241,5 triliun, melalui mekanisme TKD beberapa orang Rp346,6 triliun juga melalui mekanisme pembiayaan merupakan pemberian beasiswa lalu pendanaan riset sebesar Rp77,0 triliun.

Penyaluran belanja lembaga pendidikan melalui mekanisme TKD memiliki proporsi tambahan besar dibandingkan dengan belanja sekolah yang tersebut disalurkan melalui mekanisme BPP. Hal yang disebutkan sebagai dampak pembagian kewenangan di penyelenggaraan layanan pendidikan. Untuk tingkat dasar dan juga menengah, pengurus layanan lembaga pendidikan dikerjakan oleh pemerintah daerah.

Pemerintah pusat semata-mata menyelenggarakan layanan lembaga pendidikan dasar kemudian menengah bagi satuan institusi belajar keagamaan dan juga layanan institusi belajar tinggi baik umum maupun keagamaan.

Secara fakta, BPP untuk fungsi sekolah mengalami kenaikan dari tahun ke tahun. Jika pada tahun 2020 alokasi anggaran institusi belajar yang digunakan diberikan untuk kementerian/lembaga berjumlah Rp174,2 triliun maka pada tahun 2024 besaran yang disebutkan berubah menjadi Rp241,5 triliun atau meningkat 38,63%.

Kenaikan alokasi lembaga pendidikan akan linier dengan kenaikan APBN dikarenakan seberapa pun belanja pemerintah ditetapkan, maka porsi anggaran sekolah ditentukan secara tetap yaitu 20% dari belanja APBN.

Dengan adanya kenaikan alokasi belanja lembaga pendidikan setiap tahunnya, muncul pertanyaan mengapa berjalan kenaikan uang kuliah secara signifikan? Terdapat beberapa kemungkinan hal yang disebutkan terjadi.

1. 1. Berkaitan dengan bertambahnya jumlah total PTN di dalam Indonesia. Pertambahan PTN berlangsung akibat pembangunan PTN baru atau penegerian PTS. Efek dari perkembangan jumlah keseluruhan PTN yakni kenaikan penerima bantuan operasional yang digunakan bersumber dari APBN, sehingga besaran yang digunakan diterima oleh per individu PTN mengecil dibandingkan tahun sebelumnya.

2. 2. Terjadinya realokasi belanja antar kegiatan pada fungsi pendidikan. Secara total alokasi untuk fungsi sekolah tak mengalami perubahan, namun apabila dirinci ke setiap-tiap acara akan muncul inovasi pagu. Realokasi belanja berjalan sebab adanya pembaharuan prioritas pendanaan sehingga program-program yang mana dianggap kurang mendesak dapat dikurangi serta dipindahkan ke program-program yang lebih lanjut mendesak.

3. 3. Akibat perbedaan kenaikan total belanja PTN/Rencana Kerja Anggaran Tahunan (RKAT) yang tersebut melebihi kenaikan alokasi anggaran pendidikan. Jika kenaikan total belanja PTN identik dengan kenaikan APBN, maka uang kuliah yang mana dipungut akan cenderung mirip atau mengalami kenaikan yang mana tipis dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Lain halnya apabila kenaikan total belanja PTN sangat dalam berhadapan dengan kenaikan APBN, maka PTN dihadapkan pada pilihan untuk meninggal uang kuliah atau menggali sumber pendapatan baru.

Dari ketiga kemungkinan dalam atas, poin ketiga berubah menjadi aspek pendorong terjadinya kenaikan uang kuliah yang dimaksud bermetamorfosis menjadi polemik akhir-akhir ini. Kenaikan pendapatan dari sumber non APBN yang tersebut kemudian mengakibatkan ilusi seolah-olah pemerintah lepas tangan terhadap penyelenggaraan sekolah tinggi. Padahal yang terbentuk porsi APBN mengecil sebagai akibat kenaikan pendapatan secara signifikan dari sumber non APBN.

Faktor lain yang mana menjadi pemicu kenaikan uang kuliah diduga oleh sebab itu banyak PTN sedang berproses untuk naik status kelembagaan yang digunakan disandangnya. Jika ketika ini berstatus sebagai satuan kerja (satker) pemerintah, maka kedudukan selanjutnya adalah menyandang peringkat sebagai badan hukum.

Untuk berubah menjadi sebuah badan hukum memang benar diperlukan beberapa prasyarat yang digunakan harus dipenuhi salah satunya berbentuk kemampuan keuangan. Selain itu, banyak PTN ingin menunjukkan sebuah sensasi baru pascaalih status dengan melakukan modernisasi maupun penambahan beraneka sarana yang tersebut dimiliki sebagai pembeda bahwa pasca mendapat status baru sudah muncul peningkatan secara berarti pada sarana kemudian prasarana yang dimiliki.

Penambahan bervariasi prasarana juga kerap kali ditujukan sebagai modal awal untuk pembangunan badan bisnis yang mana diharapkan mampu memperkuat pendanaan kampus melalui pendapatan dari non akademik.

Apabila merujuk pada sejarah istilah badan hukum pertama kali, maka pertimbangan mengenai status kelembagaan yang dimaksud didasarkan pada keinginan PTN untuk mempunyai hak lalu tanggung jawab untuk memanfaatkan sumber daya yang tersebut dimilikinya secara mandiri untuk menggalang kegiatannya.

Penjelasan yang disebutkan tercantum di PP 61 tahun 1999 tentang Penetapan Perguruan Tinggi Negeri Sebagai Badan Hukum. Meskipun PP yang disebutkan sudah pernah dicabut lalu dinyatakan tak berlaku, namun semangat kelembagaan badan hukum masih menyala hingga pada waktu ini. Sebuah benang merah dapat ditarik bahwa adanya status badan hukum merupakan cara untuk mengoptimalkan pendapatan dari non akademik pada membantu operasional sebuah PTN.

Secara umum, bangunan pendapatan pada PTN terbagi bermetamorfosis menjadi empat kelompok besar. Keempatnya yaitu pendapatan bersumber dari APBN, pendapatan dari peserta didik (pendapatan akademik), pendapatan dari non pelajar (kerja sama, penelitian, badan usaha/aset, dan juga pendapatan dari pengelolaan kas), juga pendapatan dari hibah.
Dari keempat kelompok pendapatan yang dimaksud hanya sekali pendapatan dari peserta didik (akademik) yang tersebut sepenuhnya dapat dikendalikan oleh pihak PTN, selebihnya adalah pendapatan yang digunakan tak dapat dikendalikan penerimaannya.

Pendapatan dari pelajar selalu bermetamorfosis menjadi solusi pada hal muncul kenaikan belanja pada PTN apabila kelompok belanja lain tidak ada mampu memberikan kontribusi. Alhasil dampak pembengkakan belanja yang dimaksud akan meningkatkan uang kuliah yang mana dipungut dari mahasiswa.

Sebenarnya masih ada beberapa cara untuk mensiasati fenomena kenaikan uang kuliah yang tersebut terjadi belakangan ini. Penyempurnaan kebijakan diantaranya pada dalamnya penguatan arti “kemampuan keuangan” sebagai prasyarat naik kelas.

Jika selama ini kemampuan keuangan diartikan sebagai besaran minimal pendapatan yang digunakan diraih oleh PTN, maka kenaikan uang kuliah adalah jalur pintas untuk naik kelas. Namun apabila prasyarat yang disebutkan disempurnakan dengan batasan berupa, persentase uang kuliah untuk membiayai belanja secara langsung atau tingkat pengembalian dari aset nonlayanan institusi belajar bisa jadi jadi kenaikan uang kuliah tidak lagi berubah menjadi sebuah prioritas.

Pembatasan alokasi uang kuliah untuk membiayai belanja secara langsung dan juga belanja tidaklah dengan segera ditujukan untuk mengamati sejauh mana uang pelajar mengalir. Jika sebagian besar digunakan untuk membiayai biaya dengan segera maka telah terjadi berjalan kesesuaian antara uang yang mana siswa bayarkan dengan sarana penyelenggaraan sekolah yang dimaksud diterima.

Selain itu faktor efisiensi penyelenggaraan institusi belajar akan tercapai tatkala ada pembatasan proporsi uang siswa untuk membiayai belanja bukan langsung. Seberapa ideal proporsi antara belanja dengan segera kemudian tiada langsung? Proporsi ideal mungkin saja akan bervariasi, namun tak ada salahnya untuk melakukan benchmarking dengan PTS yang digunakan dianggap telah terjadi ideal pada menentukan bentuk biaya pendidikan.

Proporsi distribusi belanja yang dimaksud layak dipertimbangkan sebagai pelengkap persyaratan kemampuan keuangan dengan alasan bahwa, semakin besar persentase uang kuliah untuk membiayai belanja dengan segera adalah pertanda bahwa besaran yang dibayarkan oleh pelajar tepat sasaran.

Namun jikalau proporsi untuk membiayai belanja tiada dengan segera lebih lanjut besar dapat diartikan uang kuliah yang digunakan dibayarkan digunakan untuk kegiatan lain yang mana bukan secara dengan segera berpengaruh pada mahasiswa.

Selanjutnya mengenai tingkat pengembalian aset, di dalam mana beberapa orang pengelola PTN sangat berkeinginan untuk mengurus asetnya secara mandiri. Derajat pengembalian aset non layanan institusi belajar akan memberikan keadilan bagi seluruh PTN. Bagi PTN dengan aset minimalis, maka tingkat pengembalian akan minimalis.

Namun terdapat keuntungan juga bagi PTN tersebut, yaitu kemungkinan adanya subsidi uang kuliah untuk operasional juga pemeliharaan aset yang dimaksud digunakan untuk non layanan institusi belajar mampu batasi. Sebaliknya bagi PTN dengan aset jumbo, idealnya kepemilikan aset mampu untuk memberikan sumbangan positif.

Prasyarat tentang pengembalian aset dapat juga dipakai untuk menghurangi kemungkinan adanya uang peserta didik yang dipergunakan untuk operasional kemudian pemeliharaan aset yang mana digunakan untuk non pendidikan. Dalam hal aset memberikan arus kas positif, maka dapat dipastikan bahwa kepemilikan aset berperan di membantu biaya perkuliahan mahasiswa, namun sebaliknya jikalau arus kas negatif maka pelajar berperan menyubsidi operasional aset non layanan pendidikan.

Sebagai penutup, mungkin saja harus dipikirkan kembali konsistensi kebijakan di pengelolaan SDM pada PTN pasca alih status kelembagaan. Untuk membentuk sebuah unit yang tersebut mampu menyelenggarakan lembaga pendidikan tinggi yang digunakan efisien juga berkualitas, maka sekat-sekat birokrasi yang tersebut kaku harus dikurangi juga keleluasaan pimpinan PTN bertambah.

Alih status kepegawaian dari PNS ke pegawai badan layak didorong agar secepatnya dilakukan. Dengan berubahnya status kepegawaian, maka rektor akan miliki kewenangan lebih tinggi untuk menata kerangka kepegawaian pada PTN masing-masing. sehingga apabila dirasa postur SDM sudah ada cukup gemuk, maka dapat dikerjakan langkah-langkah penataan pegawai dengan lebih tinggi mudah-mudahan dibandingkan jikalau bentuk kepegawaian masih didominasi dari unsur PNS.

Artikel ini disadur dari Dilema Kampus Negeri, antara Subsidi atau Mandiri

Menasional.com menyajikan berita virtual dengan gaya penulisan bebas dan millenial. Wujudkan mimpimu, Menasional bersama kami

You might also like
Follow Gnews