Scroll Untuk Lanjut Membaca
Arah Rupiah Melawan Ketidakpastian Global-Peningkatan Tensi geopolitika
Telisa Aulia Falianty

Telisa Aulia Falianty

Telisa Aulia Falianty merupakan guru besar Fakultas Sektor Bisnis serta Bisnis Universitas Indonesia. Ia juga dikenal sebagai Senior Advisor BRI Danareksa Sekuritas. Titel magister lalu doktoral sama-sama diperoleh Telisa dari FEB UI. Selain menjadi Senior Advisor BRI Danareksa Sekuritas, ia juga berubah menjadi asisten Staf Khusus Presiden Sektor Ekonomi. Telisa berubah menjadi dosen masih FEB UI sejak 2005 lalu. Tulisan yang mana disampaikan merupakan opini pribadi, tidak mewakili institusi-institusi tempat penulis bekerja.

Profil Selengkapnya

1 dari 2 Halaman

Setelah merayakan kegembiraan Idulfitri kita dikejutkan dengan serangan balasan yang digunakan dikerjakan oleh Iran berhadapan dengan serangan yang mana diklaim Iran dijalankan oleh tanah Israel dalam Damaskus, Suriah, yang digunakan menewaskan beberapa pemimpin militer Iran.

Dengan berita yang disebutkan rupiah merespons penguatan dolar yang mana terjadi. Di sedang libur panjang untuk proses rupiah domestik, rupiah diperdagangkan relatif lemah berhadapan dengan penguatan dolar. Setelah libur berakhir, pada perdagangan Selasa (16/4/2024), rupiah ditutup melemah pada Simbol Rupiah 16.176 per dolar Amerika Serikat (AS).

Kali ini penulis akan fokus mengkaji tidaklah hanya saja pergerakan rupiah jangka pendek namun memproyeksikan arah rupiah ke depannya dengan meninjau pergerakan dinamika historisnya selama ini juga bagaimana lesson learned dari beraneka mata uang negara peers juga mata uang planet untuk mengantisipasi dampak negatif dari pelemahan rupiah juga relatif persistennya fenomena strong dolar.

Dinamika Rupiah pada 14 Tahun Terakhir
Dalam riset kecil untuk membantu tulisan ini, penulis mengamati nilai tukar rupiah sejak Januari 2010 hingga Maret 2024. Selama periode pengamatan tercatat rupiah secara kumulatif sudah mengalami depresiasi sebesar hampir 41%.

Jika dibandingkan dengan negara peers yaitu Peso, kita pada kedudukan yang mana lebih lanjut besar depresiasinya. Peso Filipina terdepresiasi secara kumulatif sebesar 18%, sangat jauh lebih besar kecil dari depresiasi Indonesia. Besaran kumulatif depresiasi dari Rupiah terhadap Dolar mirip dengan besaran kumulatif dari peers yakni Indian Rupee, yang digunakan mengalami depresiasi sebesar 45%. Setidaknya Rupiah sedikit lebih banyak baik dibandingkan dengan India.

Rupiah juga tentunya lebih lanjut baik dibandingkan dengan Lira Turki yang dimaksud telah lama terdepresiasi secara kumulatif sebesar 95%, Rubel Rusia 68%, dan juga Real Brasil sebesar 64%. Kompetitor kita pada hal nilai tukar yang mana lebih tinggi lemah dari rupiah yakni Vietnam Dong (VND) tercatat hanya saja mengalami depresiasi kumulatif sebesar 25%.

Pelemahan rupiah tidaklah hanya saja dapat kita lihat secara nominal. Kita juga dapat mengawasi indeks tekanan terhadap nilai tukar rupiah yang dimaksud disebut sebagai Exchange Market Pressure Index (EMPI). Semakin tinggi nomor EMPI semakin menunjukkan tekanan terhadap suatu mata uang.

Olahan data EMPI kami menunjukkan kenaikan dari nilai EMPI yang tersebut berarti adanya tekanan terhadap rupiah. Angka EMPI pada bulan Maret 2024 mencapai 2.082 serta setara dengan 2.836 kali standar deviasi nilai tukar rupiah terhadap dolar. Sebagai perbandingan pada Februari 2024 nilai EMPI masih sebesar 0.55 atau setara 0.8 standar deviasi. Pada pertengahan April 2024, bilangan bulat estimasi EMPI di dalam kisaran 3.9 atau setara 5.68 standar deviasi.

Tekanan yang dimaksud melebihi keadaan normal ini tentunya perlu diwaspadai meskipun memang benar BI serta pemerintah terus memantau lalu khususnya BI terus mengantisipasi dengan beraneka peluru kebijakan (triple intervention, baik dalam spot maupun Domestic Non Deliverable Forward (DNDF), optimalisasi instrumen Sukuk Valas Bank Nusantara (SVBI), Sekuritas Rupiah Bank Negara Indonesia (SRBI), penguatan kebijakan Devisa Hasil Ekspor (DHE) dengan pemerintah, kemudian akselerasi pemakaian Local Currency Settlement, dan juga menguatkan pengelolaan lalu institusi bursa valas).

Selain dari EMPI perbandingan kerentanan rupiah bisa jadi terlihat pada perbandingan antara episode depresiasi lalu episode apresiasi. Dalam periode pengamatan dengan data bulanan selama 14 tahun terakhir, Indonesia terhitung mengalami 103 periode depresiasi juga 67 periode apresiasi.

Sedangkan negara peers yang mana volatilitas mata uang mirip yakni Indian Rupee, mengalami 97 periode depresiasi juga 73 periode apresiasi, artinya lebih lanjut sedikit jumlah keseluruhan periode depresiasinya meskipun secara volatiltas mata uang hampir sama. Peso Filipina kemudian Peso Mexico juga terpencil dalam bawah rupiah untuk periode depresiasinya, yakni 83 kali lalu 78 kali.

Rupiah versus Vietnam Dong, Turkish Lira, lalu Peso Filipina
Tanpa bermaksud memberikan hal yang dimaksud mengkhawatirkan kemudian sebagai pemicu bagi kita untuk memikirkan jalan keluar, penulis mencoba melakukan simulasi hitungan simpel terkait dengan bagaimana jikalau trend Rupiah masih berlanjut dengan pola seperti ini serta apabila tidak ada ada perlawanan struktural.

Jika pola trend Rupiah juga VND masih serupa dengan asumsi model linier maka pada tahun 2064 Angka tukar rupiah terhadap dolar akan serupa dengan nilai tukar VND terhadap dolar yakni sekitar Rupiah 36.800 lalu VND 36.800 per dolar.

Pada tahun 2045 yang digadang-gadang sebagai Indonesi Emas apabila laju tren depresiasi masih sebanding maka kurs kita pada ketika itu bisa saja mencapai Rupiah 27.000 per dolar. Tentunya kita tak ingin mewariskan anak cucu dengan nilai kurs yang digunakan terlalu rendah. Meskipun kita menyadari juga bahwa depresiasi rupiah sudah pernah membantu di dalam sisi ekspor Tanah Air yang dimaksud notabene masih mengandalkan pada ekspor komoditas. (Catatan: semua dengan asumsi ceteris paribus).

Rupiah masih lebih tinggi baik apabila dibandingkan dengan kinerja Lira Turki yang dimaksud memang benar mengalami krisis nilai tukar. Volatilitasnya berjauhan lebih banyak tinggi dibandingkan rupiah yakni di hitungan 0.64 dengan depresiasi kumulatif sudah mencapai 95%.

Rata-rata laju depresiasi Lira sebesar 7.86% jarak jauh di berhadapan dengan laju rupiah sebesar 0.47%. Namun kita harus meninjau benchmark yang tersebut lebih lanjut baik agar kita terpacu, yakni dengan Peso Filipina yang cuma terdepresiasi dengan laju 0.19% secara rata-rata dengan volatilias peso jarak jauh di dalam bawah rupiah yakni 0.09 (di bawah rupiah yang dimaksud koefisen volatilitas sebesar 0.2).

Iindeks dollar Amerika Serikat (DXY) selama periode libur Lebaran menguat sangat signifikan yaitu dari 104 berubah menjadi di dalam berhadapan dengan 106. Bahkan, indeks dollar Amerika Serikat per tanggal 16 April pagi ini telah mencapai bilangan 106.18.

Penguatan US Dolar index merespon terhadap kuatnya data perekonomian Amerika Serikat dan juga meningkatnya eskalasi juga tensi geopolitik global. Penguasaan US Dolar terbentuk akibat meningkatkan ketidakpastian global juga terbatasnya safe haven asset.

Caballero, Farhi, juga Gourinchas (2017) menyoroti kurangnya suplai dari safe haven asset di dalam dunia. Suplai dari safe assets baik private maupun masyarakat secara historis telah terjadi terkonsentrasi pada beberapa kecil negara forward seperti Amerika Serikat.

Dalam artikelnya yang mana berjudul “The Safe Asset Shortage Conodrum” dinyatakan terbatasnya suplai dari safe asset terkait dengan alasan kapasitas suatu negara pada memproduksi safe haven asset ditentukan oleh tingkat konstruksi finansial, kapasitas fiskal dari sovereign, track record dari bank sentral untuk stabilitas nilai tukar serta harga, dan juga stabilitas politik.

Sejak pandemi Covid 19, melambatnya pertumbuhan China lalu Jepang, krisis dalam Eropa lalu Inggris, kompetitor dari Amerika Serikat pada safe asset berubah menjadi semakin melamah. Wacana dedolarisasi kemudian upaya menurunkan ketergantungan terhadap dolar belum mengalami kemajuan yang signifikan untuk berperang melawan hegemoni US Dolar. US Dolar masih dominan pada beragam setelmen transasksi internasional dan juga juga treasury bond sebagai aset internasional dominan.

Salah satu kriteria dari safe haven currency adalah volatilitas dari mata uang yang mana rendah dan juga pemakaian yang digunakan lebih tinggi di kegiatan internasional. Secara volatilitas, di periode pengamatan 14 tahun terakhir, mata uang Chinese Yuan (CNY), Euro serta Swiss Franc (sebagai kelompok hard currency) adalah mata uang yang mana mempunyai nilai terendah pada volatilitas.

Nilai koefisien variasi CNY sebesar 0.05, Euro sebesar 0.09 juga untuk Swiss Franc juga 0.05. Di luar kelompok mata uang negara maju, mata uang Dolar Singapura juga sangat stabil dengan koefisien variasi sebesar 0.04.

Bahkan Real Saudi miliki koefisien variasi paling rendah pada antara 18 negara sampel yang diamati yakni dengan variasi mendekati nol. Sebagai catatan Real Saudi merupakan rejim peg to USD. Selain volatilitas, kriteria terkait dengan ukuran atau size proses tentunya berubah menjadi penting.

Menurut data dari Statista pada Februari 2024 yang tersebut diambil dari data kegiatan Society of Worldwide Interbank Financial Telecommunication (SWIFT) pemanfaatan mata uang dolar pada kegiatan internasional pada globus meningkat dari 45.02% dari Januari 2019 berubah jadi 58.77% di Februari 2019.

Ini menunjukkan permintaan terhadap Dolar Amerika semakin meningkat pascapandemi Covid-19. Di sisi lain justru pemanfaatan Euro semakin turun dari 34.57% berubah jadi 12.94%. Jika merujuk pada paragraf sebelumnya mata uang stabil adalah Swiss Franc serta Chinese Yuan.

Penggunaan Swiss Franc mengalami sedikit kenaikan dari 1.37% menjadi 1.89% kemudian mata uang Chinese Yuan naik penggunaannya dari 1.24% menjadi 2.78%. Artinya jikalau digunakannya hanya sekali dua indikator untuk safe haven kompetitor USD, maka Chinese Yuan memenuhi kriteria secara stabilitas juga juga secara size yang meningkat, tapi catatan tertulis tentunya Chinese Yuan ini share-nya masih di dalam bawah 3%, masih sangat jauh dari share mata uang dominan sebagai hard currency.

Tapi tren peningkatannya menjadikan Chinese Yuan potensial sebagai kompetitor, relatif juga dibandingkan dengan mata uang negara maju yang digunakan sudah ada lama mempunyai track record seperti Swiss Franc. Secara size, ukuran dari Chinese Yuan telah melintasi porsi dari Swiss Franc di catatan SWIFT. Diversifikasi dari mata uang internasional bermetamorfosis menjadi rumus lalu pekerjaan rumah yang harus dikerjakan oleh masyarakat internasional untuk meredam fenomena strong dollar.

Arah Kebijakan

BACA HALAMAN BERIKUTNYA

HALAMAN:
1 2

Artikel ini disadur dari Arah Rupiah Melawan Ketidakpastian Global-Peningkatan Tensi Geopolitik

Reporter: Redaksi Media